Hadirlah sang pagi dengan semburat senyum mentari yang merindukan kicau burung dibalik cerahnya sebuah harapan baru. Suara itu kini terganti bunyi klakson kendaraan yang menggerutu saling bersahut terburu. Hari senin, memang hari tersibuk di Ibu Kota, membuat semua insan pencari nama saling berebut untuk segera menginjakkan kaki di tempat kerja. Sebagian yang beruntung menikmati kendaraan pribadi, meski harus berjibaku dengan kemacetan luar biasa. Sebagian besar lain, memilih berdesakan di commuterline atau bus kota. Tujuan mereka hanya satu, menyunggingkan senyum di kantor sebelum batas sidik jari absen ditutup.
Di sudut Jakarta, sebuah rumah yang mungil berpenghuni satu keluarga kecil. Anisa dengan sumringah tidak biasa, menyediakan sarapan pagi untuk anak dan suaminya. Asrul dua bulan lalu berulang tahun yang ke tujuh belas, satu - satunya buah hati yang dititipkan pada Anisa dan Dimas, suaminya.
"besok - besok harus mulai dibiasakan ya, sholat subuhnya" kata Dimas kepada Asrul sambil mengunyah roti lapis dimulutnya.
Anisa mengambil duduk disebelah kiri Dimas, mengelus kepala anak semata wayang itu menatapnya penuh harap. Bagi Anisa, hari ini bukanlah hari biasa. Untuk pertama kalinya, Wanita berusia dua puluh sembilan tahun itu merasakan sholat subuh berjamaah dengan suami dan anaknya. Biasanya, Asrul akan sulit sekali untuk terbangun dari tidur, bahkan setelah disiram segayung air sekalipun. Namun, kali ini Asrul segera beranjak dari tempat tidurnya dan membuka pintu pada ketukan pertama saat diingatkan kewajibannya sebagai seorang muslim dewasa.
"Asrul, hari ini mau kemana?" Dimas kembali membuka percakapan dengan putranya itu.
"Main game aja yah, dirumah"
Jawaban Asrul membuat Anisa resah, wanita yang baru dinikahi Dimas tujuh tahun itu khawatir akan terjadi perdebatan panjang antara ayah dan anak di pagi yang damai ini.
"Oh yaudah... hari ini kalua bisa Asrul dirumah saja ya..." pungkas Dimas mengejutkan dua pendengarnya.
"Ayah hari ini mau bawa bekal makan siang?" tanya Anisa menawarkan.
"Tidak perlu, sebelum jam dua belas ayah sudah pulang kok"
Kemudian Dimas berpamitan pada anak dan istrinya. Mobilnya segera menggilas aspal jalan Sudirman, bergumul dengan pencari nafkah lainnya.
***
Matahari segera akan sampai puncaknya, pukul sebelas tiga puluh siang, ketika Dimas menekan klakson mobil meraung agar gerbang rumah dibukakan baginya. Adalah Asrul yang membukakan jalan bagi ayahnya, setelah mobil itu masuk kedalam garasi, Dimas merangkul anaknya untuk bersama masuk kedalam rumah. Di dalam rumah Anisa dengan senyum mempesona, sudah menanti kehadiran kepala keluarga.
Hentakan Adzan Dzuhur membawa ketiganya kembali bersujud pada Sang Kuasa. Anisa tak henti - hentinya berucap syukur dalam hati dengan hari ini yang begitu damai. Ditatapnya Dimas dan Asrul yang berada didepannya, ketika mengucap dua salam terakhir berharap waktu berhenti untuk dinikmati begitu saja.
"Mulai hari ini, Asrul harus belajar untuk menjadi imam" kata Dimas ketika sholat selesai dilaksanakan. "Lalu, belajar untuk menjadi anak bunda yang baik, walau bagaimanapun..."
"Bunda adalah bundaku..." kata Asrul memotong ucapan Dimas.
Anisa tak kuasa meneteskan air matanya. Sebagai seorang ibu sambung, kehadiran Anisa awalnya tidak dapat diterima oleh Asrul yang saat itu masih berusia sepuluh tahun. Ibu kandung Asrul meninggal dua tahun sebelum Dimas menyunting Anisa. Butuh waktu satu tahun, dengan cinta yang tulus Anisa meluluh lantahkan kebencian dan ketakutan yang dialami Asrul saat itu.
Dimas memeluk Anisa dan Asrul dibahunya. Ada doa didalam hati yang terucap, berharap satu yang terbaik bagi keduanya.
***
"Allahuakbar..." takbir terakhir sholat isya menghentak telinga Anisa. Air matanya sekali lagi tumpah, kali ini menyadari satu yang hilang dari hidupnya.
"Assalamualaikum warahmatullah..." kata suara itu bergetar nyaris tak terdengar. Satu lagi kewajiban sudah selesai ditunaikan.
"Ayah..." kata Asrul segera mendekap tubuh Dimas yang masih bersujud diatas sajadah imam sholat.
"Innalilahi wa innalilahi rojiun..." Anisa berbisik getir, lirih mengucap selamat jalan kepada suami tercinta.
Anisa memeluk Asrul yang tak kuasa menahan tangis, meronta tak siap kehilangan. Asrul mendekap Anisa, dua duka saling bercerita dalam air mata.
"Setidaknya, janji ayahmu sudah dia tunaikan" kata Anisa mencoba memberi kekuatan kepada anaknya itu.
***
"Dalam satu hari, kita diwajibkan untuk sholat lima waktu..." kata Dimas menjelaskan tepat dihari ulang tahun Asrul. "Dari lima sholat itu, ada tujuh belas jumlah total rakaat yang harus kita lakukan..."
Asrul yang saat itu merasa dirinya sedang diberi ceramah agama oleh ayahnya, mengangguk saja tidak mau berdebat panjang.
"Dan ayah berjanji, satu hari nanti... kita bertiga akan menjalankan lima sholat itu bersama, sampai rakaat ke tujuh belas."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H