Kemudian Dimas berpamitan pada anak dan istrinya. Mobilnya segera menggilas aspal jalan Sudirman, bergumul dengan pencari nafkah lainnya.
***
Matahari segera akan sampai puncaknya, pukul sebelas tiga puluh siang, ketika Dimas menekan klakson mobil meraung agar gerbang rumah dibukakan baginya. Adalah Asrul yang membukakan jalan bagi ayahnya, setelah mobil itu masuk kedalam garasi, Dimas merangkul anaknya untuk bersama masuk kedalam rumah. Di dalam rumah Anisa dengan senyum mempesona, sudah menanti kehadiran kepala keluarga.
Hentakan Adzan Dzuhur membawa ketiganya kembali bersujud pada Sang Kuasa. Anisa tak henti - hentinya berucap syukur dalam hati dengan hari ini yang begitu damai. Ditatapnya Dimas dan Asrul yang berada didepannya, ketika mengucap dua salam terakhir berharap waktu berhenti untuk dinikmati begitu saja.
"Mulai hari ini, Asrul harus belajar untuk menjadi imam" kata Dimas ketika sholat selesai dilaksanakan. "Lalu, belajar untuk menjadi anak bunda yang baik, walau bagaimanapun..."
"Bunda adalah bundaku..." kata Asrul memotong ucapan Dimas.
Anisa tak kuasa meneteskan air matanya. Sebagai seorang ibu sambung, kehadiran Anisa awalnya tidak dapat diterima oleh Asrul yang saat itu masih berusia sepuluh tahun. Ibu kandung Asrul meninggal dua tahun sebelum Dimas menyunting Anisa. Butuh waktu satu tahun, dengan cinta yang tulus Anisa meluluh lantahkan kebencian dan ketakutan yang dialami Asrul saat itu.
Dimas memeluk Anisa dan Asrul dibahunya. Ada doa didalam hati yang terucap, berharap satu yang terbaik bagi keduanya.
***
"Allahuakbar..." takbir terakhir sholat isya menghentak telinga Anisa. Air matanya sekali lagi tumpah, kali ini menyadari satu yang hilang dari hidupnya.
"Assalamualaikum warahmatullah..." kata suara itu bergetar nyaris tak terdengar. Satu lagi kewajiban sudah selesai ditunaikan.