Diantara kepedihan yang kau lekatkan pada dinding lubuk hati
Pada helaan nafas yang dipenuhi bayanganmu
Dan aku diliputi rindu
-Hennie Triana, Menikmati Patah Hati-
Adam masih berliku melangkah dengan gelisah, hatinya terpukul dihantam resah. Malam semakin tersudut dibalik awan hitam berbalut duka yang terbungkus perih menyakitkan. Adam, berbaring dalam diam berharap segera menemukan jawaban. Lalu dia bangun, kembali bersorak pada harapan yang pernah ada, mencari jalan keluar untuk tetap menuliskan sebuah cerita. Dipandanginya seisi kamar, satu persatu puing rindu yang tersusun rapi runtuh menjadi kepingan luka tak terobati.
Pada kabin lemari cokelat yang terpaku di sudut kamar, Adam menatap nanar sejenak. Dirogohnya isi yang pernah dititipkan disana, sebuah jaket lusuh bercorak loreng yang tetap saja indah baginya. Dipandanginya jaket itu, Adam kembali pada masa lalu. Hanya sebentar, dia kembali melemparkan diri pada dunia nyata. Kalau saja boleh meronta, Adam akan mengumumkan pada dunia, dia sedang terluka.
Semalam tepat pada pukul tujuh malam, sejentik keisengan menggiring Adam pada media social yang sudah lama ditinggalkannya. Sebuah kejutan ditemukannya disana, adalah Rangga, sebuah nama yang selama dua tahun menjadi alasan Adam terjebak rindu begitu dalam. Empat puluh lima menit sebelum Adam membuka media sosialnya, Rangga mengunggah sebuah photo tiket pesawat bergumul bersama passport miliknya. Perjalanan dari Tokyo menuju Singapura yang akan dijalani Rangga satu jam berikutnya.
Adam tidak bisa menahan diri untuk tidak membalas unggahan itu. Dengan segala sisa kekuatan yang ada, dipilihnya bertanya apakah Rangga akan segera berada di Jakarta. Namun, pria itu harus membiarkan kecewa meliputi diri, ketika pesannya tak kunjung mendapat balasan dari seberang sana.
Adam mencoba menghitung segala kemungkinan, mulai dari perbedaan waktu antara Jakarta dan Tokyo, yang memungkinkan Rangga saat ini memang sudah boarding berada didalam tubuh pesawat. Atau batrai ponsel yang mungkin saja habis, sebab Rangga harus menjawab pertanyaan yang sama dari orang lain yang mampir kepadanya.
Dengan segala harapan tentang janji masa lalu yang pernah ada. Adam bertahan hingga tengah malam tiba. Pukul tiga pagi, Adam kembali memeriksa ponselnya, kalau saja Rangga sudah membalas pesannya. Perhitungannya adalah, waktu Singapura yang lebih dulu satu jam disbanding Jakarta dan menurut jadwal, seharusnya pesawat yang ditumpangi Rangga sudah mendarat disana.
Tersentak dengan kenyataan, setelah dua puluh empat jam, Rangga masih belum juga memberi jawaban. Alih -- alih, tanpa sejentik perasaan bersalah, pria itu justru mengunggah satu photo lain yang mengatakan kini dirinya sudah berada di sebuah hotel di negara tetangga, Singapura. Adam tersungkur dalam diam, asa yang patah dibasuhnya dengan air mata yang menderita.
***
Dua tahun lalu, di bandara Soekarno Hatta, Adam menatap Rangga yang asyik dengan kopi moka miliknya. Perlahan, tidak ingin waktu terlewatkan dengan sebegitu cepatnya. Rangga menatap balik pada Adam, tersenyum simpul seolah semua akan benar baik baik saja.
"kapan kau akan pulang?" kata Adam, setelah menyadari penerbangan Rangga menyisakan waktu setengah jam saja untuk mereka bersama.
"dua tahun dari sekarang, mungkin tiga..." Rangga menjawab, masih dalam keraguan.
Adam menyeruput latte miliknya, menatap ke segala arah mencoba mengabaikan segala resah. Rangga menggenggam tangan Adam, untuk kesekian kalinya kedua mata berjumpa dalam kepiluan perpisahan.
"kau akan menunggu kan?" pinta Rangga
"pasti!" janji Adam dengan yakin.
dulu kita pernah begitu bergelora
kisah yang ingin kita tuliskan menjadi cerita
namun mungkin kini sudah tak ada lagi halaman kosong dihatimu
mungkin aku hanyalah sejentik lalu yang seharusnya berlalu
dan demi sebuah janji yang pernah disaksikan semesta
aku akan terus bertahan meski bila harus terluka
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H