Mohon tunggu...
Dan Jr
Dan Jr Mohon Tunggu... Lainnya - None

私の人生で虹にならないでください、私は黒が好きです

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Mengembalikan Fitrah Pancasila

1 Juni 2022   00:07 Diperbarui: 1 Juni 2022   00:23 160
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kekalahan Jepang dalam perang Asia Pasifik pada tahun 1945, membuat BPUPKI melakukan sidang untuk persiapan kemerdekaan Republik Indonesia. 

Kemudian, dihari kelima sidang tersebut, adalah 1 Juni 1945, Bung Karno, yang kemudian akan diangkat menjadi Presiden pertama RI mengungkapkan gagasannya tentang Pancasila. 

Tiga minggu kemudian, pada 21 Juni 1945, Pancasila dirumuskan kedalam piagam Jakarta. Selanjutnya, satu hari setelah Proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, pada 18 Agustus 1945, Pancasila ditetapkan sebagai dasar negara.

Perjalanan Pancasila menjadi dasar negara, kemudian berlanjut menjadi ideologi berbangsa, bukanlah mudah. Meski diterima masyarakat Internasional dengan kekaguman luar biasa, saat Bung Karno memperkenalkannya pada Sidang Majelis Umum PBB tahun 1960. 

Kenyataannya, tahun 1965, Pancasila sendiri nyaris tergerus akibat keserakahan segelintir orang dalam perebutan kekuasaan. Peristiwa yang disebut keinginan beberapa elit politik saat itu untuk menggulingkan Presiden dan mengganti ideologi negara, memakan korban enam orang jendral dan satu perwira pertama Republik Ini.

Meski dalam lautan darah dan air mata, tetap saja Pancasila mengukuhkan diri sebagai ideologi bangsa yang tidak dapat digantikan. Kemudian 1 Oktober 1965, satu hari setelah peristiwa memilukan terjadi, kita sebut sebagai hari kesaktian Pancasila.

Ironisnya, setelah peristiwa memilukan tersebut, bahkan Bung Karno harus merelakan untuk melepaskan jabatannya saat itu atas desakan rakyat luas, Pancasila justru digunakan sebagai pion politik hingga saat ini.

Pada jaman orde baru, Pancasila digunakan kekuasaan saat itu untuk mengukuhkan kursinya yang empuk setidaknya selama tiga puluh tahun lamanya. 

Pengkritik pemerintah saat itu, segera akan dianggap sebagai antek komunis, ideologi yang berhadapan langsung dengan Pancasila pada 1965. Akhirnya kebebasan untuk berusara terbungkam, saling bunuh diantara sesame bangsa terjadi atas nama membela Pancasila.

Meski kengeriannya tidak seperti peristiwa di pemerintahan Orde Baru, tetap saja di era reformasi Pancasila masih digunakan sebagai komoditas politik. 

Tagar Saya Indonesia, Saya Pancasila beberapa tahun lalu misalnya, adalah sebuah gerakan yang tidak dapat dipungkiri berasal dari pendukung salah satu barisan politik di negeri ini.

Atau sebut saja, desakan untuk memutar film "Penumpasan Pengkhianatan G 30 S PKI" karya Arifin C Noer, setiap tahunnya. Tidak sedikit orang -- orang akan berkata bahwa gerakan ini tidak lain adalah untuk memuluskan ambisi pihak tertentu meraih kekuasaan.

Tetap saja, Pancasila digunakan segelintir orang untuk membenarkan diri dan menyalahkan pihak lain yang berseberangan dengannya. Meski kita seharusnya menyadari, bahwa Pancasila lebih dari sekedar alat politik!

Pancasila adalah jalan hidup yang digunakan bangsa Indonesia dalam berbangsa dan bernegara. Bukan untuk saling menyerang satu sama lain, seperti yang sering kita temui dewasa ini. 

Dalam sila -- sila itu, terkandung nilai luhur yang murni untuk membawa kita dalam cita -- cita besar menjadi bangsa bermartabat, berdemokrasi, berperikemanusiaan, dalam persatuan yang akhirnya akan mengantarkan kita menemukan nilai Ketuhanan yang sesungguhnya.

Dengan Pancasila, seharusnya tidak ada perpecahan diantara sesama kita dalam periode yang begitu lama. Tidak ada pembungkaman atas pendapat rakyat kepada pemimpinnya. Menghilangkan kesejenjangan sosial yang nyatanya semakin timpang dalam kesehariannya.

Dengan memperingati tujuh puluh tujuh tahun lahirnya Pancasila, mari kita berharap, agar negeri ini kemudian bisa mengembalikan fitrah Pancasila sebagai sebuah jati diri bangsa, bukan permainan politik dalam merebut kekuasaan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun