***
Dia bagaikan Crème Brulee, hidangan penutup asal Prancis yang begitu menggoda. Tampak gosong dipermukaan, namun ada kenikmatan bahkan dalam sendokan pertama. Hidupnya tidak semulus cerita para raja, tidak pula seindah arca peninggalan mereka. Dihempas takdir yang tak kunjung memberi bahagia, satu - satunya yang diinginkannya adalah memberikan cinta.
Aku tidak keliru ketika aku mengatakan yang dia inginkan hanyalah memberi cinta. Adam, selama bersamaku tidak pernah menuntut apapun seperti yang diinginkannya. Meski pernah diberi luka, dia dengan cepat mengizinkan maaf keluar dari mulutnya. Bahkan ketika aku memutuskan untuk menikah dengan seorang wanita. Adam mengatakan, selamanya aku adalah adik baginya.
Dia adalah patah yang terkoyak, remuk yang tak pernah lelah. Aku kurang beruntung, mendapatkannya cintanya sebagai kekasih hanya dalam hitungan bulan, norma dan etika, memburuku dalam gelisah. Tapi, Adam tidak menyerah. Meski aku yang seringkali berujar dan akhirnya berbuat salah, dia memilih untuk memberi kata terserah.
Dia tidak menginginkan pertengkaran, dia tidak memiliki sebuah kebencian. Katanya, rasa benci itu sudah tumpah semua kepada seseorang dalam masa lalu, seseorang yang menggiringnya pada kegelapan. Adalah sepupunya, yang memberikan cerita kelam. Membuatnya tidak pernah hilang dari dendam masa silam.
***
Tangisku belum padam, ketika Romeo akhirnya hadir dengan duka mendalam. Dipeluknya tubuh Adam yang sudah tidak bernyawa, cukup lama, terlalu lama, namun pria itu tidak akan pernah kembali pada kehidupan. Matanya merah, seperti aku, dia sedang menanti seseorang untuk lampiaskan amarah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H