Jujur saja, saat pertama kali telepon itu berdering, aku sudah merasakan sesuatu akan terjadi. Setelah nyaris enam tahun lamanya, aku bahkan tidak tahu kalau pria yang akan menelpon itu masih menyimpan nomor ponselku.
Namun, ketika sudah tak ada tempat berkilah, aku memutuskan untuk menjawabnya kali ini. Bagaimanapun, dia mungkin sedang akan bertanya tentang seseorang, atau justru memberi kabar tentang orang itu.
“Adam…” suara dari balik sana terdengar parau.
Reinhard tidak perlu melanjutkan ucapannya. Aku sudah tahu.
Pagi masih terlalu buta untuk menyetir sendirian, belum lagi mengingat aku yang belum terlelap semalaman. Tapi, aku tidak akan menghentikan keinginan untuk dapat menyaksikan secara langsung sebuah kepergian. Aku tidak mau menjadi orang terakhir yang ada disana, seperti bodoh yang tak diinginkan.
Ketika sampai d irumah Adam, aku merasakan jiwa yang padam. Mereka menatapiku dengan penuh curiga, hari - hari terakhirnya, hanya ada aku yang berada di kota yang sama dengannya.
Mungkin mereka berpikir, Adam mengatakan sesuatu kepadaku sebelum keputusannya. Mungkin mereka mengira, aku adalah alasan Adam mengakhiri hidupnya.
Tentu saja keliru, aku bahkan sudah tidak benar - benar mengontak pria itu setelah pertemuan kami tiga tahun lalu.
Saat Adam kembali padaku dengan seorang pria yang digandengnya dalam hangat cumbu. Pria yang aku tahu ditemukannya setelah aku memberi pengumuman tentang pernikahan, dan meninggalkannya dalam sendu.
Pernikahan itu sendiri akhirnya kandas bahkan sebelum aku benar - benar menjadi seorang suami yang dirindu. Namun, aku tidak pula hendak mencampuri Adam dan pria barunya dan menjadi pengganggu.
Namanya, Romeo. Aku sudah menghubunginya dalam perjalanan menuju rumah ini tadi.