Isu penundaan pemilu kembali digaungkan. Entah dari pihak pemerintah atau dari sebagian politisi, tampaknya sepakat untuk memperpanjang masa jabatan Presiden Joko Widodo kali ini. Bagaimanapun, setidaknya banyak pihak yang akan diuntungkan dengan penundaan pemilu yang isunya sudah berkembang sejak pertengahan pandemi lalu.
Dalam sebuah wawancara, Luhut Binsar Panjaitan misalnya, tidak menampik bahwa ada keinginan dari masyarakat bahwa memang sebaiknya pemilu ditunda. Kita tidak perlu mempertanyakan data apa yang digunakan pria yang digadang -- gadang sebagai tangan kanan presiden tersebut. Sebagian masyarakat pada kenyataannya memang puas dengan kinerja pemerintah, yang dalam beberapa aspek patut diberikan jempol. Meski demikian, tetap saja kita patut mencurigai bahwa penundaan pemilu hanyalah sebuah hasrat politik dari banyak pihak. Terlebih bagi mereka yang berkeinginan untuk menjadi presiden berikutnya setelah masa Joko Widodo purna bakti nanti.
Nama -- nama yang kini beredar sebagai calon kuat presiden dalam pemilu berikutnya kenyataannya belum cukup amunisi untuk menghadapi pertarungan mendatang. Ganjar Pranowo dan Anies Baswedan adalah dua calon terkuat yang menjadi representasi dua kubu bersebarangan.
Nama Ganjar, meski cukup popular, namun tidak sebesar Joko Widodo sewaktu masih menjadi Wali Kota Solo atau Gubernur DKI. Alih -- alih dengan prestasi yang membanggakan, Ganjar justru sering muncul dalam pemberitaan regional yang nyaris tidak berdampak nasional. Berbeda dengan Jokowi kala itu, yang dibesarkan oleh esemka yang disebut -- sebut sebagai proyek mobil nasional (waktu itu).
Demikian halnya dengan Anies Baswedan yangmeski popular dikalangan tertentu. Justru menjadi musuh bersama bagi kalangan lain, yang masih merasa dicederai pada pemilu daerah DKI tahun 2017 lalu.
Kebijakan -- kebijakan daerah Ganjar dan Anies belum ada yang benar -- benar luar biasa. Sehingga mayoritas calon pemilih berpusat pada satu sosok. Faktanya disamping kedua nama itu, masih ada alternatif lain seperti Erick Tohir, Ridwan Kamil, Puan Maharani, bahkan Prabowo Subianto dan masih banyak lagi.
Hal ini jelas berbeda dengan kondisi pra pemilu 2014, dimana hanya ada nama Megawati dan Joko Widodo dari satu pihak dan Prabowo Subianto dari pihak lain.
Dengan penundaan pemilu, diharapkan sosok -- sosok yang sedang bertengger di berbagai macam survey ini bisa memacu diri, mengepakkan sayapnya.
Sehingga setiap partai politik yang akan bertarung nanti, benar -- benar yakin dengan calon yang mereka usung akan membawa pada kemenangan. Ibarat kata, tahun 2024 nanti masih dirasa kurang cukup untuk menambah kekuatan dalam perburuan kursi Republik Indonesia - 1.
Bagaimanapun, kita harus menyadari bahwa bangsa ini sedang menghadapi krisis kepemimpinan sejak 2004 lalu. Pilihan yang tersedia, orangnya itu -- itu saja.
Butuh sebuah peristiwa luar biasa, untuk mengangkat nama seseorang ke kancah nasional. Dan ini adalah pekerjaan rumah terberat bangsa ini. Sejak zaman kemerdekaan, kita selalu dipaksa untuk menerima kenyataan bahwa seseorang harus menjadi "pahlawan" terlebih dahulu, agar bisa diberi kesempatan untuk memimpin bangsa.
Sebut saja sebelum kemerdekaan, kita dihadirkan sosok Sukarno yang begitu garang menghadapi kolonialisme. Kemudian, ada Soeharto yang menjadi simbol kehancuran komunisme di Indonesia.
Selanjutnya Megawati, bukti perlawanan terhadap tangan besi orde baru. Susilo Bambang Yudhoyono, adalah harapan bahwa kita bisa lebih baik dari pemerintahan sebelumnya. Joko Widodo hadir dari kalangan "bukan siapa -- siapa" menjadi sosok yang selalu diperbincangkan, dianggap berhasil mengangkat harkat Negara ini.
Dewasa ini, persitiwa -- peristiwa tersebut nyaris tidak ada. Nama Anies Baswedan memang seringkali menjadi momok bagi pendukung pemerintahan. Tapi perilaku politik Anies terlalu hati -- hati, sehingga tidak bisa muncul sebagai simbol perlawanan seperti Megawati terhadap Orde Baru, dulu.
Artinya siapapun yang sedang berharap dapat berkantor di Istana Negara nantinya, butuh perhitungan tepat, butuh tambahan waktu untuk menambah lagi amunisi tempurnya.
Sedangkan bagi pemerintah saat ini, penundaan pemilu bisa jadi kabar baik. Proyek besar seperti Ibu Kota Negara yang akan segera dipindah, dan kabarnya bahwa Presiden Joko Widodo yang akan menjadi presiden pertama berkantor di IKN baru tampaknya sulit diwujudkan pada 2024 kelak.
Masih banyak gesekan -- gesekan antara elit negara sendiri dalam hal ini. Belum lagi soal APBN yang terbebani begitu hebat, membuat 2024 tampaknya sulit memindahkan pusat pemerintahan. Selain itu, kita juga masih terseok akibat pandemic yang belum berakhir.
Untuk mewujudkan pemerintahan saat ini sebagai yang pertama berkantor di IKN baru, penundaan pemilu tampaknya menjadi logika yang paling masuk akal.
Pertanyaannya, apakah benar isu penundaan pemilu akan menjadi win -- win politik bagi kalangan elit?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H