Tak pelak, keluarga Bung Karno adalah keluarga politisi juga seniman handal. Sebut saja Megawati Soekarnoputri, yang meski terseok tetap saja pernah duduk di pucuk pimpinan negri ini. Atau Guruh Soekarnoputra yang karya-nya pasti sudah dikenal oleh banyak khalayak. Sukmawati, salah satu putri Bung Karno adalah seniman sekaligus politisi. Di bidang politik, Sukma seringkali mengambil jalan berbeda dari kakaknya, Mega. Meski tidak sefrontal Rachma, tetap saja banyak kritik Sukma yang sampai di telinga putri tertua Bung Karno tersebut.
Belakangan, Sukmawati menelurkan satu buah puisi bertajuk "Ibu Indonesia". Seringkali kita gagal paham, bahwa karya seni dan agama adalah dua hal yang berbeda namun juga terkadang saling mengisi. Dibalik puisi kontroversi milik Sukmawati, ada nada satir yang harus diambil sebagai pelajaran. Bukan justru mengecam, membuatnya menjadi kontroversi. Memang, kritik pedas terhadap suatu golongan terlebih golongan mayoritas mudah menyulut amarah. Namun, sekali lagi mari melihat karya tersebut sebagai sebuah seni yang harus dipetik pelajarannya.
Berikut adalah puisi Sukmawati yang menjadi kontroversial itu, dan saya mencoba mendalami makna tersirat dari setiap katanya ;
Aku tak tahu syariat Islam
Pembuka yang cukup baik, dari penulis. Bahwa isi selanjutnya patut dipahami dari orang yang sedang belajar akan sesuatu.
Yang ku tahu sari konde ibu Indonesia sangatlah indah
Lebih cantik dari cadar dirimu
Seolah membandingkan konde dengan cadar. Tapi, tunggu! Disini penulis sedang mengungkapkan pengetahuannya tentang budaya Indonesia. Sekaligus menyentil manusia yang penuh dengan "cadar". Sebab dalam tulisan ini yang dimaksud adalah "cadar dirimu" bukan "cadar milikmu" hingga harus diakui bahwa cadar yang seringkali dipakai menutup sebagian wajah, disini bisa berarti cadar yang seringkali menutupi jati diri seseorang.
Gerai tekukan rambutnya suci
Sesuci kain pembungkus ujudmu
Rasa ciptanya sangatlah beraneka
Menyatu dengan kodrat alam sekitar
Disini jelas penulis sedang mengungkapkan keanekaragaman yang dilahirkan oleh bumi pertiwi.
Jari jemarinya berbau getah hutan
Peluh tersentuh angin laut
Menggambarkan suasana Indonesia yang jelas dipenuhi hutan tropis
Lihatlah ibu Indonesia
Saat penglihatanmu semakin asing
Teguran keras bagi pendengar maupun pembaca puisi ini, bahwa kita sudah terbengkali dengan budaya asing. Bukan hanya arab, tapi juga barat. Membuat budaya sendiri terasa asing ditanah sendiri.
Supaya kau dapat mengingat
Kecantikan asli dari bangsamu
Jika kau ingin menjadi cantik, sehat, berbudi, dan kreatif
Selamat datang di duniaku, bumi ibu Indonesia
Ajakan yang cukup klasik untuk kembali pada marwah tanah air sendiri.
Aku tak tahu syariat Islam
Yang kutahu suara kidung ibu Indonesia, sangatlah elok
Lebih merdu dari alunan adzan mu
Bait inilah yang menjadi kontroversi utama dalam puisi Sukmawati. Tapi mari lihat dengan teliti, sekali lagi. Seolah membandingkan "kidung ibu Indonesia dengan Adzan" kita melupakan ada kata kepemilikan disana. Yang ditulis adalah Adzanmu. Sehingga tidak serta merta semua adzan masuk dalam katagori ini.
Mungkin saja "mu" yang dimaksud adalah mereka para penjual agama yang acap kali memamerkan diri seorang alim tapi aslinya adalah muafik. Kidung ibu Indonesia juga tidak jelas maksudnya yang mana. Bukankah alunan adzan yang merdu dan nikmat ditelinga terlebih yang mengumandangkannya seorang salih betul, juga adalah sebuah kidung?
Gemulai gerak tarinya adalah ibadah
Semurni irama puja kepada Ilahi
Nafas doanya berpadu cipta
Helai demi helai benang tertenun
Canting menggores ayat ayat alam surgawi
Bukankah sudah sangat dapat dipahami bahwa ibadah yang dimaksud dalam puisi ini tidak melulu soal masuk kedalam rumah ibadah? bahwa semua giat manusia adalah ibadah.
Pandanglah ibu Indonesia
Saat pandanganmu semakin pudar
Supaya kamu dapat mengetahui kemolekan sejati dari bangsamu
Sudah sejak dahulu kala riwayat bangsa beradab ini
Cinta dan hormat kepada ibu Indonesia dan kaumnya
Pandangan saya mengatakan bahwa puisi ini sejatinya bukan sedang membadingkan satu kaum dengan kaum lainnya.Bukan pula perbandingan antara agama dengan tanah air. Puisi ini adalah teguran bagi kita yang selalu saja disibukkan dengan permasalahan agama yang sejatinya adalah hubungan antara pribadi sendiri dengan Sang Khalik.
Terlalu banyak orang yang bertingkah atas nama agama, sampai - sampai agama itu rusak oleh umatnya sendiri. Bukankah sudah sepantasnya kita kembali pada fitrah kita sebagai manusia? kembali pada alam yang melahirkan dimana darah pertama kali tertumpah. Menjunjung tinggi budaya yang memang warisan leluhur kita.
Bahwa pada akhirnya pendapat saya ini kemudian menjadi debatable, tidak menjadi persoalan. Sebab sebuah karya seni tidak melulu harus dilihat dengan kaca mata kuda.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H