Abu Nawas merupakan pujangga & penyair terkenal pada zaman Bani Abbasiyah. Ia lahir pada 145 H di kota Ahvaz yg sekarang berada di Iran. Artinya dia lebih tua 5 tahun dibanding Imam Syafe'i yang lahir 150 H. Sebelum Imam Syafei hijrah ke Mesir, beliau sempat bertemu ketika di Baghdad.
Nama asli Abu Nawas adalah Abu Ali al Hasan bin Hani al Hakami. Warga Baghdad memberi julukan Abu Nawas karena ia memiliki rambut yg ikal dan panjang.
Ayahnya bernama Hani al Hakam, seorang pensiunan tentara Marwan II, Marwan merupakan khalifah terakhir Bani Umayyah yang berkuasa dari Damaskus. Â Sejak kecil Abu Nawas sudah yatim. Ia dibawa ibunya ke Bashrah (iraq) untuk menuntut ilmu.
Beberapa ulama tercatat menjadi gurunya. Di antaranya Abu Zaid al Anshari dan Abu Ubaidah, pada keduanya ia belajar sastra Arab.
Ia belajar Al-Qur'an pada Ya'qub Al Hadrami. Belajar hadist pada Abu Walid bin Ziyad, Muktamir bin Sulaiman, Yahya bin Said Al-Qattan, dan Azhar bin Sa'ad As-Samman.
Melihat nama guru - gurunya merupakan murid dari para tabi'it tabi'in maka tak heran, sekalipun disampaikan dengan gaya humor sufi, namun perkataan dan syairnya penuh hikmah.
Ia hidup hingga di zaman Bani Abbasiyah berkuasa tepatnya di era khalifah Harun ar Rasyid. Di masa mudanya kepandaiannya menulis puisi menarik perhatian Harun ar Rasyid.
Abu Nawas pernah membuat syair seperti ini:
 "Biarkan masjid diramaikan oleh orang-orang yang rajin ibadah Kita di sini saja, bersama para peminum khamer, dan saling menuangkan. Tuhanmu tidak pernah berkata, "Celakalah para pemabuk." Tapi Dia pernah berkata, "Celakalah orang-orang yang shalat."
Gara-gara syairnya ini, Khalifah Harun Ar Rasyid marah dan ingin memenggal leher Abu Nawas.
Tapi, orang mengatakan kepada Ar-Rasyid :
"Wahai Khalifah, para penyair mengatakan apa-apa yg tidak mereka lakukan. Maafkanlah dia (si Abu Nawas)".
Menurut satu riwayat, ketika Abu Nawas meninggal dunia, Imam Syafi'i tidak berkenan menshalati jenazahnya. Namun, ketika jasad Abu Nawas hendak dimandikan, di kantong baju Abu Nawas ditemukan secarik kertas bertuliskan syair Al I'tiraf --Pengakuan-- merupakan karya yg ia ciptakan menjelang akhir hayatnya.
Ilaahii lastu lil firdausi ahlaan
(Wahai Tuhanku! Aku bukanlah ahli surga)
Wa laa aqwaa 'alaa naaril jahiimi
(Tapi aku tidak kuat dalam neraka Jahanam)
Fa hablii taubatan waghfir zunuubii
(Maka berilah aku taubat dan ampunilah dosaku)
Fa innaka ghaafirudz dzambil 'azhiimi
(Sesungguhnya Engkau Maha Pengampun dosa yg besar)
Dzunuubii mitslu a'daadir rimaali
(Dosaku bagaikan bilangan pasir)
Fa hablii taubatan yaa dzaal jalaali
(Maka berilah aku taubat wahai Tuhanku yg memiliki keagungan)
Wa 'umrii naaqishun fii kulli yaumi
(Umurku ini setiap hari berkurang)
wa dzambii zaa-idun kaifah timaali
(Sedang dosaku selalu bertambah, bagaimana aku menanggungnya)
Ilaahii 'abdukal 'aashii ataaka
(Wahai, Tuhanku ! Hamba Mu yang berbuat dosa telah datang kepada Mu)
Muqirran bidz dzunuubi wa qad da'aaka
(Dengan mengakui segala dosa, dan telah memohon kepada Mu)
Fa in taghfir fa anta lidzaaka ahlun
(Maka jika engkau mengampuni, maka Engkaulah yg berhak mengampuni)
Wa in tathrud faman narjuu siwaaka
(Jika Engkau menolak, kepada siapakah lagi aku mengharap selain kepada Engkau?)
Setelah membaca syair tersebut, Imam Syafi'i menangis sejadi-jadinya kemudian menshalati jenazah Abu Nawas bersama orang-orang yg hadir.
(Sya'irul bilad).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H