Mohon tunggu...
Damri Hasibuan
Damri Hasibuan Mohon Tunggu... Guru - Guru dan Penulis

Seseorang yang ingin meraih kesuksesan di dunia dan akhirat.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Di Sudut Jendela

6 Juli 2023   18:47 Diperbarui: 6 Juli 2023   18:55 153
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerbung. Sumber ilustrasi: pixabay.com/Yuri B

Yuk ramaikan kolom komentar dan lovenya. Atas apresiasinya author ucapkan terima kasih. Lanjutan ceritanya ada di KBM, serenade Luka Aisyah, ya dear Readers

****


Dari sudut jendela, Darmawan tampakduduk dengan tatapan kosong. Sementara ibunya sendirian di kamar tengah. Tubuhyang sudah menua dimakan usia, membuatnya tidak mampu lagi melakukan banyak hal.Sesekali dia membalikkan posisi badannya dari kiri ke kanan atau sebaliknyadengan perlahan. Itu pun tangan dan kakinya gemetaran. Bola matanya yang rabunterkadang mengeluarkan bulir bening.

"Wan... Wan ...." Ibunya meringis kesakitan. Apa yang dia inginkan tidak terdengarjelas karena suaranya yang lemah. Erangan itu terbawa partikel udara dalamruangan dan berjalan lambat.

Darmawansama sekali tidak mendengar suara sang ibu. Pikirannya jauh kembali ke masalalu dan menyatu dengan jiwanya. Kadang-kadang netranya menatap dari celahjendela, menikmati indahnya pemandangan alam semesta yang menghijau.

Embusanangin sepoi-sepoi membuat hati Darmawan semakin tentram. Di usianya yangkeempat puluh tahun ini, dia sangat bersyukur dengan kehidupannya. Apalagi sejakkehadiran Aisyah di kehidupan rumahtangganya, hidupnya bertambah lengkapmeskipun Maya belum pernah memberikannya anak perempuan.

PLUK!

Suarasesuatu yang jatuh. Entah apa itu. Yang jelas, suara itu bersumber dari kamarBu Aminah. Seketika Darmawan terjingkat. Kedua bola matanya membulat sempurna.Jantungnya berdebar karena takut terjadi sesuatu pada ibunya. Ia tidak inginsesuatu yang sangat membahayakan menimpa perempuan yang telah melahirkannya itu.

"Bu...!" Darmawan diam memastikan sahutan ibunya. Namun, tidak ada yangmenyahut. Jantungnya berdegup semakin kencang.

"Ibu!"panggilnya dengan nada tinggi hingga lima oktaf. Dia ingin memastikan apakahibunya baik-baik saja atau dalam bahaya.

Yangada hanya hening. Baik suara ibunya atau suara lain yang dapat memecahkansuasana tegang, tidak ada. Karena was-was, dia pun beringsut ke kamar.Keningnya mengerut melihat apa yang ada di pikirannya tadi, tidak sesuai denganapa yang ada di depan matanya. Akan tetapi, dia heran kenapa kok kursinya bisajatuh. Darmawan biasa duduk di situ sambil menemani ibunya. Sekarang diakebingungan mengatasi obat-obatan yang berserakan di lantai.

"Ah,siapa ini yang menjatuhkan kursi? Sialan! Dasar tidak bertanggungjawab! Awasya, kalau menjatuhkan ini lagi di depan mataku, akan kutabok kau!" Diamenggerutu sendiri sembari menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Soalnya,semenjak istri dan anaknya pergi ke luar, hanya dia dan ibunya saja yang ada dirumah. Saking asyiknya di dekat jendela tadi, pria yang mengenakan kaus putihpolos itu tidak sempat memperhatikan kalau ada dua ekor kucing yang masuk kekamar.

Kucingitu kejar-kejaran karena berkelahi. Pada saat kursi jatuh, seketika merekakabur dari jendela kamar. Obat-obatan jatuh berantakan, minuman yang ada digelas tumpah dan pecah berkeping-keping.

"Bu... ibu ...!" Dia mendekatkan mulutnya ke telinga wanita yang ada disamping kirinya. Bu Aminah tidak mengetahui apa yang sedang terjadi. Bahkanketika Darmawan memanggil, dia juga belum dengar.

BuAminah kelelahan menahan rasa sakit yang menimpanya. Pada saat sakitnya mereda,kemudian dia tertidur walaupun sebenarnya Bu Aminah belum minum obat. Sebab,pada saat dia memanggil-manggil tadi, anaknya tidak mendengar. Dalam kondisilemah seperti ini, yang dia lakukan hanya pasrah kepada Tuhan. Dia juga masihsadar kalau memaksakan minum obat secara mandiri, dapat lebih membahayakandirinya ketimbang berdiam diri.

Mautidak mau, Darmawan turun tangan untuk membersihkan dan merapikan segala yangberantakan di kamar tersebut. Untungnya, rasa panik yang biasa muncul berhasildia pendam. Entah Malaikat apa yang menelusup kalbunya, sehingga kali ini priayang berbadan gempal itu dengan cekatan mengambil sapu lalu mengangkat beling,melap lantai yang basah dan merapikan kembali obat-obatan yang berserakan dilantai.

Padasaat melihat obat yang dikemas berwarna biru, matanya membulat dan jantungnyaberdebar kencang. Pikirannya langsung teringat pada pesan dr. Ningsih yangberpesan untuk ibunya; jangan telat minum obat, terkhusus minum obat yang adadi tangannya. Dia terbayang pada rona wajah sang dokter yang cantik. Tuturkatanya yang lembut membuat jiwa Darmawan terpana dan jatuh hati.

Darmawanlangsung berdiri dan memastikan kondisi ibunya yang tertidur pulas. Cemas dankhawatir akan keadaan ibunya sudah pasti dia rasakan. Apalagi pesan terakhiryang disampaikan dokter di ambang pintu RS. Sukaramai, masih terngiang-ngiangdi telinganya. Jangan sampai karena kelalaian dirinya tadi, membuat separuhnyawanya itu raib.

"Bu..." Dia naikkan kaki kanannya ke atas ranjang. Tangan kanannya meraihbahu Bu Aminah.

"Ibu...!" Tangannya menggerak-gerakkan tubuh Bu Aminah yang kaku. Namun,wanita tua ini belum juga bangun. 'Kenapaini, kok, gak ada balasan?' dia masih bertanya-tanya apakah ibunya telahmeninggal?

Apayang diharapkan tidak juga membuahkan hasil. Tubuh gempal itu pun naik ke atasranjang untuk memastikan keadaan sang ibu.

"Ibu...!" Dia memanggilnya dengan kencang. Sudut-sudut loteng penuh dengansuara itu. Posisi tubuh sang ibu sekarang sudah terlentang. Namun, matanyabelum terbuka.

Tangannyamulai mendeteksi detakan jantungnya. 'Alhamdulillahya Rabb ...!' Rasa khawatir yang membuatnya berkeringat dingin, sudahsedikit tenang.

"Bu...!" Dia berusaha membangunkan perempuan itu untuk segera minum obat.

Napasbesar mengalir dari hidungnya Bu Aminah. Selang beberapa detik, matanya terbukadengan perlahan. Begitu melihat Darmawan, dia pun menangis, ingin dikasihani.

"Minumobat dulu ya, Bu!" Darmawan langsung mengambil obat di atas meja.

Biasanyayang merawat ibunya adalah Maya. Sementara Darmawan hanya saat-saat tertentusaja bisa untuk merawat ibunya. Seperti saat sekarang ini, istrinya dan Aisyah sedangpergi ke Mall dan belum juga pulang.

Butiranobat itu sudah di tangan Darmawan. Akan tetapi, Bu Aminah tidak mau menelannya.Darmawan bingung.

"Ibukok, gak mau minum?" Dia mulai panik melihat sikap wanita tua itu.Pasalnya, kalau obat ini gak diminum, bisa membuat ibunya dalam bahaya.

Yang lebih menjengkelkannya lagi, BuAminah menepis obat itu dari tangan Darmawan.

"Kalauibu gak minum, bahaya, Bu!" nasehat Darmawan. Matanya mulai memerah melihatwajah ibunya yang susah minum obat.

"Akugak mau!" cegah Bu Aminah dengan suara sedikit keras.

Lelakiitu pusing sekali melihat masalah ibunya ini. Dia berusaha menahan emosi denganduduk sebentar di bahu ranjang membelakangi Bu Aminah. Wajahnya yang memerahhampir padam. Namun, keningnya yang mengerut masih saja menyimpan selaksaemosi.

Sesaatkemudian, dia menoleh kembali untuk memberikan obat anti kematian itu. BegituDarmawan mengulurkan tangannya, Bu Aminah langsung menepisnya lagi. Butiranobat itu harganya mahal, dengan mudahnya sang ibu menolaknya sampai jatuhbertaburan ke lantai.

Darmawannaik pitam. Netranya langsung menyorot tajam persis di depan wajah Bu Aminah.Emosinya yang hampir padam, kini kembali menyala bak disambar petir.

"Ahhhh... mati aja sana!" Amarah Darmawan memuncak hingga tidak mampu mengontrolemosi.

CDARRRR!

Gelas,cermin, obat-obatan yang ditaruh di atas meja dia jatuhkan ke lantai denganberingas. Beling-beling kaca berserakan ke mana-mana. Air yang tumpahberceceran. Setiap sudut loteng terdengar rintihan renta seakan mengadu padakalut yang menyelimutinya.

Ditengah emosinya yang meluap, tiba-tiba saja ia dikejutkan oleh suara ponselnyayang berdering.

"Hallo,kenapa? Ada apa, Ma?  Apa ... apa yangterjadi dengan Aisyah, Ma?"

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun