"Ah,siapa ini yang menjatuhkan kursi? Sialan! Dasar tidak bertanggungjawab! Awasya, kalau menjatuhkan ini lagi di depan mataku, akan kutabok kau!" Diamenggerutu sendiri sembari menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Soalnya,semenjak istri dan anaknya pergi ke luar, hanya dia dan ibunya saja yang ada dirumah. Saking asyiknya di dekat jendela tadi, pria yang mengenakan kaus putihpolos itu tidak sempat memperhatikan kalau ada dua ekor kucing yang masuk kekamar.
Kucingitu kejar-kejaran karena berkelahi. Pada saat kursi jatuh, seketika merekakabur dari jendela kamar. Obat-obatan jatuh berantakan, minuman yang ada digelas tumpah dan pecah berkeping-keping.
"Bu... ibu ...!" Dia mendekatkan mulutnya ke telinga wanita yang ada disamping kirinya. Bu Aminah tidak mengetahui apa yang sedang terjadi. Bahkanketika Darmawan memanggil, dia juga belum dengar.
BuAminah kelelahan menahan rasa sakit yang menimpanya. Pada saat sakitnya mereda,kemudian dia tertidur walaupun sebenarnya Bu Aminah belum minum obat. Sebab,pada saat dia memanggil-manggil tadi, anaknya tidak mendengar. Dalam kondisilemah seperti ini, yang dia lakukan hanya pasrah kepada Tuhan. Dia juga masihsadar kalau memaksakan minum obat secara mandiri, dapat lebih membahayakandirinya ketimbang berdiam diri.
Mautidak mau, Darmawan turun tangan untuk membersihkan dan merapikan segala yangberantakan di kamar tersebut. Untungnya, rasa panik yang biasa muncul berhasildia pendam. Entah Malaikat apa yang menelusup kalbunya, sehingga kali ini priayang berbadan gempal itu dengan cekatan mengambil sapu lalu mengangkat beling,melap lantai yang basah dan merapikan kembali obat-obatan yang berserakan dilantai.
Padasaat melihat obat yang dikemas berwarna biru, matanya membulat dan jantungnyaberdebar kencang. Pikirannya langsung teringat pada pesan dr. Ningsih yangberpesan untuk ibunya; jangan telat minum obat, terkhusus minum obat yang adadi tangannya. Dia terbayang pada rona wajah sang dokter yang cantik. Tuturkatanya yang lembut membuat jiwa Darmawan terpana dan jatuh hati.
Darmawanlangsung berdiri dan memastikan kondisi ibunya yang tertidur pulas. Cemas dankhawatir akan keadaan ibunya sudah pasti dia rasakan. Apalagi pesan terakhiryang disampaikan dokter di ambang pintu RS. Sukaramai, masih terngiang-ngiangdi telinganya. Jangan sampai karena kelalaian dirinya tadi, membuat separuhnyawanya itu raib.
"Bu..." Dia naikkan kaki kanannya ke atas ranjang. Tangan kanannya meraihbahu Bu Aminah.
"Ibu...!" Tangannya menggerak-gerakkan tubuh Bu Aminah yang kaku. Namun,wanita tua ini belum juga bangun. 'Kenapaini, kok, gak ada balasan?' dia masih bertanya-tanya apakah ibunya telahmeninggal?
Apayang diharapkan tidak juga membuahkan hasil. Tubuh gempal itu pun naik ke atasranjang untuk memastikan keadaan sang ibu.
"Ibu...!" Dia memanggilnya dengan kencang. Sudut-sudut loteng penuh dengansuara itu. Posisi tubuh sang ibu sekarang sudah terlentang. Namun, matanyabelum terbuka.