Mohon tunggu...
Dr. Damos Agusman
Dr. Damos Agusman Mohon Tunggu... Dosen - Rechtswissenschaften Universität Frankfurt

Dr. iur. International Law, University of Frankfurt. Bermimpi untuk mengurai benang kusut akibat distorsi publik.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Ambalat Itu Apa Sih? Pulau Atau Dasar Laut?

28 Juni 2015   18:54 Diperbarui: 28 Juni 2015   19:03 8383
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 

 

Ambalat kembali menjadi perbincangan. Semua level masyarakat berganti-ganti membicarakannya. Mulai dari politisi, pengamat, editorial media, pimpinan TNI, termasuk orang awam berbondong-bondong memperbincangankannya. Pemicunya juga dari sumber yang sama, yaitu Malaysia. Sejengkal saja Malaysia menggeliat di “wilayah” ini maka seluruh publik Indonesia bangkit meributkannya. Hiruk pikuk yang bernada retorik akan bergema di nusantara manakala Ambalat menjadi berita. Ambalat menjadi objek diskusi, debat, dialog interaktif di media, yang ujung-ujungnya menghajar Malaysia. Reaksi retorik publik Indonesia ini memang baik dan cinta NKRI.

 Namun ada yang aneh disini, setidak-tidaknya dibenak para pakar hukum laut yang menyimak perbincangan mereka. Aneh karena mereka yang sedang berdebat dan berdialog ini kelihatannya tidak memiliki konsepsi pemahaman yang sama tentang apa dan siapa Ambalat ini. “Mahluk” yang bernama Ambalat ini seolah-olah dikenali dengan akrab oleh mereka yang memperbincangkannya namun sayangnya cara mereka memperkenalkan dan menggambarkan Ambalat ke publik justru sedang menceritakan mahluk lain yang jelas bukan Ambalat. Ada distorsi pemahaman objek disini sehingga analisanya menjadi absurd dan saran tindaknya juga menjadi obsolete.

 Pertama, Ambalat itu bukau pulau sehingga ngapain harus dikait-kaitkan dengan kasus Pulau Sipadan dan Ligitan. Ambalat itu adalah suatu blok dasar laut (landas kontinen) yang jauh dari pantai Indonesia. Memang ada pantai dengan nama Ambalat di Provinsi Kukar, tapi tentu bukan itu maksud para pengamat karena pantai Ambalat ini tidak berurusan dengan Malaysia. Disebut blok Ambalat adalah untuk memudahkan para komunitas perminyakan mengenali lokasi dasar laut ini. Malaysia menamai blok ini dengan ND-6 dan ND-7. Jadi Ambalat ini bukan daratan yang nongol diatas laut, melainkan dasar laut yang diatasnya adalah perairan ZEE. Jika ini bukan Pulau maka dia bukan menjadi objek kepemilikan seperti hanya kita memiliki suatu darat. Dalam bahasa hukumnya, Ambalat itu bukan titile to territory seperti halnya Gugusan Spralty dan Parcel di Laut Tiongkok Selatan, yang jadi rebutan Tiongkok, Filipina, Vietnam, Brunei dan Taiwan.

 Jika Ambalat diperbincangkan sebagai Pulau maka bagaimana pun canggihnya argumentasi selanjutnya, dialog itu mejadi suatu bahasan fiktif, karena objek yang dibahas tidak sama dengan fakta tentang objek itu sendiri. Misalnya, argumen ini menjadi aneh jika pengamat menyarankan agar Pemerintah Indonesia mempertahankan keberadaannya di Ambalat dengan membangun infrastruktur, sepertinya halnya Malaysia membangun resort di Sipadan dan Ligitan. Bagaimana caranya membangun infrastruktur di dasar laut? Reaksi publik juga bisa menjadi salah kaprah. Sekelompok pemuda yang tidak bisa berenang pun bahkan bertekad menduduki Ambalat dan “berkemah” disana.

 Kedua, blok ini berada jauh diluar laut teritorial Indonesia. Jika laut teritorial Indonesia hanya selebar 12 mil laut, maka Blok ini berada sekitar 80-120 mil dari Pantai Indonesia. Dalam bahasa Konvensi Hukum Laut 1982, perairan ini disebut sebagai landas kontinen yang berada mulai dan diluar dari 12 mil laut teritorial. Kalau pun ada, hanya secuil saja bagian blok ini yang berada di laut teritorial, cuilan ini pun tidak ada hubungannya dengan Malaysia. Kata kunci disini adalah bahwa laut teritorial tidak identik dengan landas kontinen, alias Ambalat bukan laut wilayah/ teritorial. Di laut teritorial itu negara berdaulat, namun di landas kontinen tidak ada kedaulatan. Kata Konvensi, negara pantai hanya memiliki hak berdaulat dan jurisdiksi di perairan landas kontinen ini. Jika demikian, maka pelanggaran terhadap laut teritorial tidak identik dengan pelanggaran terhadap landas kontinen. Atau, kita putar logikanya, pelanggaran terhadap landas kontinen bukan merupakan pelanggaran terhadap kedaulatan. Karena berdaulat maka pesawat terbang tidak boleh sembarangan melintasi laut teritorial, namun pesawat asing bisa bebas terbang di atas perairan landas kontinen. Konyolnya, mereka yang memperbincangkan ambalat, menyamakan zona ini dengan laut wilayah, akibatnya, begitu pesawat udara asing melintasi Ambalat, maka menjadi identik dengan melanggar kedaulatan wilayah.

 Ketiga, Ambalat adalah landas kontinen yang batas-batanya belum disepakati oleh Indonesia dan Malaysia. Nah...kalau membahas Ambalat sebaiknya pada poin ini. Blok Ambalat adalah soal penetapan batas yang belum usai. Indonesia dan Malaysia belum punya garis batas di Laut Sulawesi, lokasi dimana Ambalat itu berada. Jika belum ada garis batasnya kenapa muncul kehebohan tentang pelanggaran? terus apa yang dilanggar? Disini letak masalahnya. Salah satu distorsi publik yang agak parah adalah bahwa seolah-olah batas maritim (baik laut teritorial, landas kontinen, dan ZEE) itu sudah ada, sehingga dengan serta merta publik mudah menghakimi bahwa negara asing melanggar perbatasan

 Bisanya, dalam situasi belum ada garis batas, masing-masing negara akan membuat apa yang disebut garis klaim, yaitu garis yang secara sepihak dinyatakan sebagai batas. Tentu saja garis ini bersifat klaim sepihak, karena menurut Konvensi Hukum Laut 1982, garis batas itu harus berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak alias harus ada dulu suatu “ijab kabul” antara kedua negara untuk menyepakati garis itu. Garis “ijab kabul” itu sampai saat ini masih dirundingkan dan belum tuntas. Kedua negara hendak melanjutkan perundingan ini melalui penunjukan Utusan Khusus (special envoys). Sembari menunggu garis batas yang “halal” alias yang disepakati, kedua negara membuat garis klaim sepihak tadi. Jadi ada dua versi garis di Laut Sulaewesi, yang satu garis versi Indonesia dan yang satu lagi adalah garis tandingan dari Malaysia. Blok Ambalat berada di dalam garis klaim Indonesia, dan sebagian juga berada di dalam garis klaim Malaysia. Artinya, Ambalat sama-sama diklaim oleh kedua negara.

 Penetapan garis klaim ini sendiri adalah soal biasa, dan akan dilakukan oleh semua negara yang belum memiliki garis batas yang disepakati. Hampir semua Negara di dunia yang belum memiliki garis batas pasti akan menetapkan garis sepihaknya. Di Laut Tiongkok Selatan yang belum ada batasnya, terpampang berbagai garis batas maritim yang saling tumpang tindih bak kumpulan cacing, yang pasti bakal lama menyepakatinya karena ada faktor klaim atas pulau/karang di dalamnya.   Indonesia dan Vietnam sama-sama punya garis klaim di perairan Natuna sejak tahun 1979, dan kedua negara baru berhasil membuat garis “ijab kabul” tahun 2003 setelah 24 tahun berunding. Di Ambalat, Indonesia dan Malaysia baru mulai merundingkannya sejak tahun 2005 setelah kasus kepemilikan Sipadan dan Ligitan diselesaikan.

 Karena blok Ambalat adalah soal landas kontinen dan bukan laut teritorial maka tidak mungkin terjadi pelanggaran kedaulatan akibat hilir mudiknya kapal atau peswat asing. Kata Konvensi, perairan diatas Ambalat adalah perairan ZEE yang hak lintas bebas kapal-kapal asing harus dijamin. Kapan dan bagaimana suatu negara dapat disebut melanggar di landas kontinen seperti di blok Ambalat? Pelanggaran terhadap landas kontinen dapat terjadi jika negara lain mencoba melakukan penambangan di Ambalat. Indonesia pernah protes pada tahun 2005 manakala Perusahaan Shell atas konsesi Malaysia mencoba melakukan ekplorasi minyak di Ambalat. Namun dapat dipastikan juga bahwa kalau Pertamina mencoba menambang di Ambalat bakal kena protes oleh Malaysia. Tapi baik Indonesia dan Malaysia tidak akan pernah protes jika kapal dari masing-masing negara hilir mudik diatasnya. Sayangnya, publik Indonesia sedang meributkan soal hilir mudik kapal dan pesawat udara bukan soal penambangan dasar lautnya, sehingga menjadi lari dari hakekat Ambalat itu sendiri.

 Keempat, perbincangan Ambalat dihantui oleh paranoid Sipadan-Ligitan. Ambalat jangan sampai bernasib sama dengan hilangnya Sipadan dan Ligitan, demikian konon kata para pengamat. Kembali ke soal hakekat Ambalat, bahwa dasar laut bernama Ambalat ini bukan pulau. Soal Ambalat bukan soal hilang atau memperoleh, tapi soal dimana garis batasnya. Ambalat bukan soal siapa “pemilik tanah”, tapi soal dimana batas “tanah” Indonesia dan Malaysia.  Dalam agenda hukum internasioal, soal kepemilikian pulau adalah soal “title to territory” sedangkan soal batas adalah soal “maritime delimitation”. Norma-norma internasional yang mengatur tentang status pulau (Sipadan-Ligitan) dan yang mengatur soal batas maritim (Ambalat) sangat berbeda. Menyamakan Ambalat dengan Sipadan-Ligitan hanya akan menghasilkan analisa yang keliru dan kesimpulan yang salah sasaran. Misalnya, menjadi aneh jika pengamat menyarankan TNI AL menghalau semua kapal asing yang sedang hilir mudik di perairan Ambalat untuk menunjukkan effective control. Aneh karena terhadap landas kontinen yang perlu dihalau bukan kapal yang sedang berlintas melainkan kapal-kapal yang sedang melakukan penambangan (drilling). Saran yang pas adalah, mengusir semua perusahan asing yang melakukan penambangan minyak di blok ini. Tapi, apa ada perusahaan asing saat ini yang berani melakukan itu?

 Kasus Sipadan-Ligitan bukan referensi yang pas untuk membahas Ambalat. Soal kasus ini ternyata punya distorsi sendiri, yang bakal panjang uraiannya. Tapi publik juga perlu bertanya seperti ini: “Mengapa kedua Pulau ini tidak dimasukkan dalam Deklarasi Djuanda tahun 1957, namun di klaim oleh Indonesia pada tahun 1969?” Sejarah menceritkan bahwa pada saat bangsa ini telah tuntas menutup semua pulau-pulau terluar melalui Deklarasi Djuanda 1957 dengan garis pangkal kepulauan, namun tiba-tiba tahun 1969 menemukan ada dua pulau “tercecer” berada diluar garis pangkal, dan ujug-ujug mengklaimnya. Jika fakta ini disepakati,  apakah RI kehilangan pulau atau mencoba memperoleh tambahan pulau?

**** 

 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun