Mohon tunggu...
Damar Juniarto
Damar Juniarto Mohon Tunggu... Penulis - Akademisi, aktivis, pembicara bidang Demokrasi Digital, Kebijakan Digital, dan Kecerdasan Artifisial.

Dosen UPN Veteran Jakarta, konsultan untuk Badan Penasihat Kecerdasan Artifisial PBB, pendiri KONDISI (Kelompok Kerja Disinformasi di Indonesia) dan PIKAT Demokrasi (Pusat Inovasi Kecerdasan Artifisial dan Teknologi untuk Demokrasi), serta pendiri/pengawas SAFEnet (Southeast Asia Freedom of Expression Network) linktr.ee/damarjuniarto

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Akuntabilitas Platform dan Pemilu: Pelajaran dari Indonesia

7 Agustus 2024   16:23 Diperbarui: 8 Agustus 2024   07:55 516
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Indonesia merupakan salah satu negara demokrasi terbesar di dunia, dengan populasi yang dinamis, beragam, dan terhubung secara digital. Penetrasi internet di Indonesia, yang telah mencapai 79,5% pada tahun 2024, menunjukkan bahwa hampir semua orang Indonesia dapat mengakses media sosial. Konektivitas digital ini menawarkan potensi yang sangat besar untuk keterlibatan demokratis, tetapi juga menghadirkan tantangan yang signifikan terhadap proses demokrasi. Dengan demikian, peran platform teknologi utama dalam membentuk lanskap elektoral lebih penting dari sebelumnya. Kebijakan, algoritma, dan praktik moderasi konten mereka dapat mendukung atau melemahkan proses demokrasi.

Akuntabilitas dan transparansi adalah landasan dari setiap proses demokrasi. Di era digital, di mana platform seperti Facebook, Google, dan Twitter memainkan peran yang sangat besar dalam membentuk wacana publik, akuntabilitas mereka menjadi yang terpenting. Teknologi baru berikutnya seperti Kecerdasan Artifisial yang membawa tantangan lain dalam mengubah hasil pemilu.

Kita perlu bertanya pada diri sendiri: Apakah platform ini benar-benar penengah informasi yang netral, atau apakah algoritma mereka secara tidak sengaja --- atau sengaja --- mendistorsi narasi? Apakah praktik moderasi konten mereka transparan dan konsisten, atau justru memberi ruang yang terlalu besar untuk kesalahan, bias, atau manipulasi?

Pelajaran dari Indonesia

Di Indonesia, di mana kampanye misinformasi dan disinformasi telah dijadikan senjata untuk memengaruhi opini publik, kurangnya transparansi dari platform teknologi dapat mengikis kepercayaan pada proses pemilu. Sangat penting bagi platform ini untuk menyediakan informasi yang jelas dan mudah diakses tentang cara mereka memoderasi konten, siapa yang berada di balik iklan politik, dan tindakan apa yang mereka ambil untuk mengekang penyebaran informasi palsu.

Di era digital saat ini, platform media sosial, seperti Facebook, Instagram, Twitter, dan TikTok telah menjadi arena utama wacana publik. Demokratisasi pembuatan konten dan penyebaran informasi melalui platform ini memungkinkan pengguna untuk berbagi pandangan dan pendapat mereka dengan khalayak global secara instan.

Namun, situasi ini juga menimbulkan berbagai tantangan, termasuk penyebaran ujaran kebencian yang dapat memperkuat prasangka dan diskriminasi di masyarakat. Terutama ujaran kebencian yang menargetkan kelompok rentan telah menjadi masalah yang semakin mengkhawatirkan. Regulasi yang bermasalah, menguatnya politik identitas, dan pengabaian negara dalam melindungi kebebasan berekspresi dan beragama merupakan faktor yang memperburuk kondisi ini.

Oleh karena itu, pada tahun pemilu ini, masyarakat sipil di Indonesia telah menjadi garda terdepan dalam memperjuangkan hak digital dan akuntabilitas platform. Berbagai organisasi telah aktif memantau konten daring, melakukan pengecekan fakta, dan mengadvokasi transparansi yang lebih besar dari perusahaan teknologi. Aktivisme akar rumput ini sangat penting dalam meminta pertanggungjawaban platform dan memastikan bahwa mereka melayani kepentingan publik, bukan keuntungan pribadi.

Ada dua koalisi besar yang berfokus pada akuntabilitas platform.

Pertama, Koalisi DAMAI (Koalisi Indonesia untuk Demokratisasi dan Moderasi di Ruang Digital), terdiri dari 12 CSO dengan dukungan dari UNESCO dan Uni Eropa. Koalisi Damai bertujuan untuk terlibat dengan platform media sosial guna memberikan saran tentang kebijakan dan praktik moderasi konten, penilaian risiko, dan protokol untuk disinformasi terkait pemilu dan ujaran kebencian, berdasarkan keahlian dan pemahaman kuat kami tentang kompleksitas sosial-budaya di lapangan.

Kedua, Koalisi Lawan Disinformasi, yang dipimpin oleh Perludem, sebuah LSM yang fokus pada pemilu bersama MAFINDO dan Cekfakta.com --- garda terdepan pemeriksa fakta Indonesia.

Dan beberapa organisasi yang berfokus pada integritas informasi selama pemilu.

Namun, hubungan antara masyarakat sipil dan platform teknologi harus lebih kolaboratif. Platform harus terlibat secara bermakna dengan kelompok masyarakat sipil lokal, bukan hanya cuma sekedar prasyarat, tetapi sebagai mitra dalam menjaga proses demokrasi. Komitmen itu harus ditunjukkan bukan hanya dengan menandatangani kesepakatan, tetapi memastikan terlaksana di lapangan. Ini berarti bersama-sama menciptakan strategi untuk mengatasi misinformasi, berinvestasi dalam inisiatif pengecekan fakta lokal, dan memastikan bahwa kebijakan platform diinformasikan oleh realitas di lapangan.

Mengukur Respons Platform

Untuk membangun akuntabilitas, kita harus dapat mengukurnya. Pengembangan metrik yang jelas untuk menilai respons platform terhadap tantangan terkait pemilu sangat penting. Metrik ini dapat mencakup kecepatan dan transparansi penghapusan konten, keakuratan upaya pengecekan fakta, dan respons terhadap laporan misinformasi pengguna.

Pada tahun 2024, SAFEnet merilis laporan berjudul "Kebebasan atau Kebencian? Akuntabilitas Platform Media Sosial dalam Penyebaran Ujaran Kebencian terhadap Kelompok Rentan pada Pemilu 2024"

Temuan:

* Sebanyak 30 konten mengandung ujaran kebencian terhadap kelompok rentan dan 35 konten mengandung kata-kata kasar terhadap kelompok tersebut. Total terdapat 65 konten yang mengandung ujaran kebencian dan kata-kata kasar terhadap kelompok rentan pada Pemilu 2024.

* Sebanyak 66,7% konten ujaran kebencian yang ditemukan adalah konten stigmatisasi, 30% konten advokasi kekerasan, dan 3,3% konten mengandung stigmatisasi dan advokasi kekerasan.

* Perempuan tercatat sebagai kelompok yang paling sering menjadi sasaran ujaran kebencian dan kata-kata kasar, dengan persentase mencapai 48,3%. Disusul oleh LGBTIQ+ (29%), Syiah dan Ahmadiyah (13,8%), Tionghoa (12,9%), dan Rohingya (9,6%).

* Ujaran kebencian paling banyak diutarakan oleh pelaku nonpolitik dengan persentase 89,2% dari total konten yang dianalisis. Berikutnya adalah akun anonim (6,2%) dan pelaku politik (4,6%).

* Facebook merupakan platform media sosial dengan konten ujaran kebencian terbanyak (66%), diikuti oleh TikTok (22%), dan Instagram (12%).

Kebijakan dan Implementasi:

* Platform memiliki kebijakan untuk mengidentifikasi dan menghapus ujaran kebencian, tetapi implementasinya sering kali tidak efektif karena algoritma yang digunakan kurang sesuai dengan konteks budaya dan bahasa Indonesia. Transparansi terkait aturan konten dan prosedur penanganan pelanggaran juga masih rendah.

* Terdapat inkonsistensi dalam penegakan kebijakan platform dalam menangani ujaran kebencian.

* Transparansi terkait iklan politik dan pendanaannya masih minim, dengan informasi terbatas tentang siapa yang dapat membuat iklan dan bagaimana sumber pendanaan diungkapkan. Iklan politik juga memfasilitasi kampanye kebencian yang mengadvokasi kebijakan diskriminatif oleh kandidat politik tertentu.

* Mekanisme pengaduan sering kali sulit diakses dan tidak memberikan respons yang memadai, dengan proses pengaduan yang tidak selalu transparan.

* Prosedur penanganan pelanggaran konten sering kali tidak jelas, dan data terkait penghapusan konten dan akun tidak cukup transparan.

Di Indonesia, di mana literasi digital sangat bervariasi di antara penduduknya, sangat penting bahwa metrik ini dikomunikasikan dengan jelas dan platform memudahkan pengguna untuk memahami peran mereka dalam menjaga integritas pemilu.

Membangun Kerja Sama Selatan-Selatan yang Tangguh

Terakhir, untuk benar-benar memajukan akuntabilitas platform, kita harus mendorong kerja sama Selatan-Selatan yang lebih kuat. Negara-negara di seluruh belahan Bumi Selatan menghadapi tantangan serupa dengan platform teknologi --- baik dalam mengelola misinformasi, memastikan akses yang adil ke ruang digital, atau melindungi proses demokrasi. Dengan berbagi strategi, pengetahuan, dan sumber daya, kita dapat membangun front yang lebih bersatu untuk menuntut akuntabilitas dari raksasa teknologi global ini.

Kerja sama ini juga dapat mengarah pada pengembangan kerangka kerja regional untuk akuntabilitas platform yang lebih selaras dengan kebutuhan dan tantangan khusus demokrasi di belahan Bumi Selatan, seperti Indonesia.

Kerangka kerja tersebut dapat mendorong transparansi yang lebih besar, akses yang adil ke perangkat digital, dan perlindungan yang lebih kuat terhadap bahaya digital.

Sebagai kesimpulan, peran platform teknologi utama dalam pemilu tidak dapat dilebih-lebihkan. Mereka memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa platform mereka tidak menjadi alat untuk merusak demokrasi. Semua pihak --- platform, masyarakat sipil, dan pemerintah --- harus bekerja sama untuk memastikan pemilu yang bebas, adil, dan transparan di Indonesia dan sekitarnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun