Sekali lagi, pokok persoalannya bukan hanya pada penerapan aturan ini di tangan aparat penegak hukum, tetapi ada persoalan juga dalam rumusan norma pengaturan di dalam UU ITE dan aturan hukum yang berlaku tentang ujaran kebencian di Indonesia.
Yang juga perlu mendapat perhatian publik adalah bagaimana upaya menghadapi penyebaran disinformasi yang dijadikan senjata politik untuk menyerang kelompok yang berseberangan. Manipulasi informasi, baik yang dilakukan dengan mengerahkan pasukan siber untuk memelintir informasi ataupun dengan bantuan teknologi komputasional, menjadi tantangan tersendiri yang perlu disikapi dengan kehati-hatian.
Tidak ada tindakan tegas pada praktik semacam ini justru banyak menajamkan polarisasi politik di dalam masyarakat yang kemudian dapat berujung pada pemecahbelahan lapisan masyarakat untuk keuntungan sekelompok elit politik dalam kontestasi pilkada atau pemilihan umum.
Persoalan-persoalan yang muncul ini tak cukup hanya diatasi dengan menerbitkan Surat Kesepatan Bersama antara ketiga lembaga yakni Kemkominfo, Kepolisian Republik Indonesia, dan Kejaksaan Agung. Karena SKB tiga lembaga tidak dapat membendung arus pemolisian narasi, propaganda komputasional dan represi pada kelompok kritis yang justru menjadi batu sandungan dalam proses komunikasi politik yang terjadi di mayantara.
Pemulihan Ruang Demokrasi Harus Dilakukan Segera
Memburuknya ruang demokrasi di mayantara bermula dari ketidaksiapan dalam membendung otoritarianisme digital, yakni penggunaan teknologi digital oleh rezim otoriter untuk mengawasi, menekan, dan memanipulasi populasi domestik dan asing. (Alina Poliyakova, 2019). Keberadaan teknologi informasi dipandang secara positivistik, tanpa melihat bahwa teknologi yang sama bila digunakan oleh kelompok otoriter justru dapat memperburuk ruang demokrasi, menjadi semakin illiberal atau bahkan menjadi putar balik haluan menuju pada otoritarianisme.Â
Cina dan Rusia menjadi kiblat utama dalam penerapan teknologi informasi yang bertujuan untuk membendung demokrasi. Bila Cina menggunakan penerapan teknologi canggih, Rusia mengarusutamakan penyebaran disinformasi sebagai cara untuk melemahkan demokrasi. Melihat pada apa terjadi belakangan ini, apa yang terjadi di Indonesia sedikit banyak merupakan gabungan cara-cara menyempitkan ruang demokrasi di mayantara.
Tiga indikator bagaimana otoritarisme digital terjadi di ranah mayantara Indonesia dapat dilihat dari praktik sensor daring, pengawasan digital, dan pemutusan internet yang terjadi cukup lama.
Maka kunci utama untuk dapat memulihkan ruang demokrasi agar makin menjauhi otoritarianisme digital adalah mengganti perspektif pendekatan terhadap teknologi informasi ini.
Pertama, mendekati kemajuan teknologi informasi ini bukan dengan pendekatan keamanan. Pendekatan keamanan hanya menghasilkan pembatasan-pembatasan yang justru tidak mengembangkan demokrasi, tetapi alih-alih menghalang-halangi upaya warga untuk menyampaikan pendapat dan pikiran di ranah mayantara.
Tak dapat dipungkiri, yang terjadi adalah merebaknya ketakutan, justru bukan memanfaatkan ruang demokrasi yang telah diperluas di ranah mayantara ini. Sebagai ganti pendekatan keamanan, Indonesia dapat mengedepankan pendekatan hak asasi atau pemenuhan hak konstitusional warga.