Mohon tunggu...
Damar Juniarto
Damar Juniarto Mohon Tunggu... Penulis - Akademisi, aktivis, pembicara bidang Demokrasi Digital, Kebijakan Digital, dan Kecerdasan Artifisial.

Dosen UPN Veteran Jakarta, konsultan untuk Badan Penasihat Kecerdasan Artifisial PBB, pendiri KONDISI (Kelompok Kerja Disinformasi di Indonesia) dan PIKAT Demokrasi (Pusat Inovasi Kecerdasan Artifisial dan Teknologi untuk Demokrasi), serta pendiri/pengawas SAFEnet (Southeast Asia Freedom of Expression Network) linktr.ee/damarjuniarto

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Stop Bakar Buku

14 Juni 2012   13:52 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:59 1054
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13396791871805338640

Librisida kembali terjadi di Indonesia. Lembar-lembar buku kontroversi itu terbakar dalam api yang kian lama kian besar. Menyala merah dan menyisakan abu dan debu. Inikah wujud baru pelarangan buku yang perlu diwaspadai?

[caption id="attachment_187960" align="aligncenter" width="620" caption="Pembakaran buku 13 Juni 2012 (dok. Tempo)"][/caption]

LIBRISIDA memiliki sejarah demikian panjang. Ada begitu banyak sebab dan latar belakang mengapa buku dilarang dan dihancurkan. Majalah Times mengungkapkan bahwa di dunia barat ‘tradisi’ melarang suatu penerbitan setidaknya bisa dirujuk kembali pada tahun 1557 yakni ketika Paus Paul IV menetapkan “daftar buku-buku terlarang" (The Index of Prohibited Books). Sebuah ketetapan berisi daftar buku-buku apa yang haram dibaca dan dikeluarkan untuk melindungi orang Katolik dari ide-ide kontroversial.

Librisida dalam bentuk "pelarangan" termasuk bentuk kekerasan yang lembek dan baru. Sejarah mencatat, ketakutan dan kebencian terhadap buku seringkali lebih banyak mengambil bentuk-bentuk penghancuran yang ekstrem seperti pembakaran buku!

Kebencian terhadap buku, yang dilakukan dengan aksi librisida, baik dalam bentuk pelarangan, sensor, penghancuran perpustakaan, serta pembakaran buku-buku itu di hadapan umum adalah gejala suatu zaman. Ia menandai proses sosial-politik yang kompleks: kemandegan, konflik, pergeseran dalam pandangan dunia suatu masyarakat.

Pembakaran buku juga sering menandai akan munculnya sebuah rezim baru. Aksi fasistik tidak hanya membakar buku-buku, tetapi juga melakukan propaganda zaman baru untuk menumbangkan wacana/sistem kepercayaan yang lama. Kita tentu ingat bagaimana Nazi melakukan kegiatan pembakaran buku secara masif dan kemudian digantikan dengan buku-buku yang ditulis sendiri oleh Adolf Hitler.

Pembakaran buku bukan tidak mungkin didukung oleh negara/pemerintah. Biasanya librisida ini dilakukan untuk menghancurkan buku-buku berdasarkan argumen atau penilaian moral dari suatu otoritas moral tertentu, semisal bertentangan dengan agama atau ideologi yang disokong negara/pemerintah.

Pada zaman sekarang ini, buku dianggap mewakili gagasan humanisme, sehingga librisida dalam bentuk pelarangan dan penghancuran buku mencerminkan kerja dan pertarungan intelektual dalam masyarakat. Dengan melakukan librisida, ada gagasan yang dihambat untuk tumbuh. Ini sebetulnya yang sedang terjadi belakang hari ini di Indonesia.

Pada hari Rabu, 13 Juni 2012, Gramedia dianjurkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk membakar buku “5 Kota Paling Berpengaruh di Dunia” karya Douglas Wilson di halaman belakang Bentara Budaya, kompleks Gramedia, Jakarta. Sebelum dan sesudahnya, pembakaran buku yang sama juga dilakukan di Cakung (Jawa Barat), Surabaya, Semarang, Makassar, dan Pekanbaru.

Buku tersebut dibakar menyusul peristiwa-peristiwa berikut:

- Munculnya surat pembaca berjudul "Buku 5 Kota Paling Berpengaruh di Dunia Menyesatkan", yang ditulis Syahruddin di harian Republika pada Jumat, 8 Juni 2012. Syahruddin, tertulis warga Depok, keberatan atas isi buku pada halaman 24, “Selanjutnya ia (Muhammad) memperistri beberapa wanita lain. Ia menjadi seorang perampok dan perompak, memerintahkan penyerangan terhadap karavan-karavan Mekah," dan "Muhammad memerintahkan serangkaian pembunuhan demi meraih kendali atas Madinah, dan di tahun 630 M ia menaklukkan Mekah."

- Permintaan maaf dari Direktur Utama Gramedia Wandi S Brata mewakili pihak penerbit Gramedia kepada umat Islam Indonesia di harian Republika atas “keteledoran” mereka dan pernyataan janji untuk menarik buku yang dicetak sejumlah 3.000 eksemplar tersebut. Pada Sabtu, 9 Juni 2012, muncul perintah penarikan buku oleh Gramedia Pustaka Utama.

- Pelaporan anggota FPI kepada Polda Metro Jaya pada Senin, 11 Juni 2012 dengan nomor LP/1985/VI/2012/PMJ/Ditreskrimum atas “penistaan agama” yang dilakukan penerbit Gramedia.

- Permintaan Majelis Ulama Indonesia (MUI) kepada pihak Gramedia pada Selasa, 12 Juni 2012, untuk memusnahkan buku tersebut.

Bila ditarik mundur ke hari sebelumnya, aksi-aksi librisida dalam bentuk lain telah lebih dulu muncul dan mendahului. Pembubaran paksa diskusi buku Irshad Manji di komunitas Salihara pada bulan Mei 2012, kemudian penyitaan atas buku-buku yang dinilai radikal di Madura pada Februari 2012. Maka sebetulnya, librisida kian kerap dilakukan dan makin vulgar dilakukan tanpa malu-malu.

Bentuk Ketakutan Pada Pluralisme
Dalam paham hak asasi, prinsip Siracussa yang diacu oleh PBB, pelarangan buku bisa dilakukan sejauh tidak melanggar prinsip-prinsip demokrasi dan melanggar Konvensi Hak-hak Sipil dan Politik. Inti dari sikap di atas adalah ‘pelarangan buku dibolehkan sejauh dalam rangka melindungi hak asasi’ dan dilakukan dalam kerangka negara hukum demokratis’. Dengan itu artinya setiap pelarangan buku mesti diuji dengan pertanyaan: apakah buku yang dimaksud memang berisi ancaman terhadap hak asasi (misalnya menganjurkan penyiksaan, kebencian ras, intoleransi dan pelecehan terhadap perempuan). Kedua, pelarangan tidak dapat dilakukan secara sewenang-wenang. Pelarangan harus diputuskan di muka pengadilan. Ketiga, si penulis harus diberi hak jawab mengenai bukunya di muka pengadilan.

Setelah Oktober 2010, Mahkamah Konstitusi telah menghapuskan kewenangan Kejaksaaan Agung untuk melarang buku. Pengadilan ditetapkan sebagai institusi yang dapat memutuskan penarikan buku bila terbukti "bersalah". Namun belum genap dua tahun, librisida muncul dan semakin tidak terkendali. Kebencian dan intoleransi bebas beredar dan termanifestasi dalam tindakan librisida yang akut.

Mereka yang melakukannya, hanya menerima demokrasi setengah hati. Prinsip mereka adalah menerima demokrasi tetapi menolak pluralisme dan perbedaan ide. Sebagai penguat hukum, mereka mengutip pasal 156 KUHP yang sering dianggap sebagai pasal karet yang mampu menyeret mereka yang dianggap menyinggung pihak tertentu dengan ganjaran 5 tahun penjara. Sebagai akibatnya dari itu semua, buku-buku berhaluan kiri dimusnahkan, lalu kemudian buku-buku yang berseberangan diganyang. Hasil akhirnya dapat kita tebak, demokrasi kita akan berujung pada demokrasi yang dihuni oleh satu golongan ideologi dan dengan otoritas kebenaran tunggal. Demokrasi tanpa pluralisme.

Terbitnya Surat Protes "Stop Bakar Buku"
Atas tindakan pembakaran buku yang terjadi baru-baru ini, sehari kemudian terbit Surat Protes: "Stop Bakar Buku" yang ditujukan kepada Wandi S Brata (PT Gramedia Pustaka Utama), KH Ma'ruf Amin (Majelis Ulama Indonesia), Habib Rizieq Syihab (Front Pembela Islam), Jenderal Timur Pradopo (Kepolisian Republik Indonesia) dan pihak-pihak yang terlibat secara langsung maupun tidak langsung dalam pembakaran buku di halaman kantor penerbit Gramedia pada hari Rabu, tanggal 13 Juni 2012.

Surat protes itu menyuarakan keprihatinan warga negara Indonesia atas tindakan pembakaran buku yang disebutkan sebagai "tindakan yang merusak kekayaan intelektual, budaya, dan moral sekaligus merupakan contoh buruk yang mengajarkan bahwa ketidaksepahamanan diselesaikan dengan cara-cara pemusnahan."

Lembaga-lembaga yang disebut di dalam surat protes itu, yakni Gramedia, MUI, FPI, dan POLRI diminta untuk mencegah terjadinya pembakaran buku sebagai bukti tegaknya supremasi hukum atas tindak premanisme. Juga meminta pemerintah segera merevisi pasal-pasal yang membelenggu kebebasan berpikir dan berpendapat sesuai Konstitusi seperti pasal 156 KUHP yang digunakan FPI untuk memperkarakan Gramedia.

Munculnya surat protes ini merupakan upaya kecil untuk meredam librisida yang kian menjadi-jadi dan saya pikir perlu mendapat dukungan banyak orang yang peduli akan masa depan bangsa Indonesia ini. Dukungan kepada Surat Protes "Stop Bakar Buku" ini bisa diberikan melalui situs Change.org Indonesia di tautan: http://www.change.org/id/petisi/gramedia-mui-fpi-polri-stop-bakar-buku

Sudah seharusnya kalau kita mengidamkan masyarakat demokratis yang sehat, kita lebih dewasa dan dingin menghadapi dan berdialog dengan setiap gagasan, bahkan gagasan paling kontroversial sekalipun. Saat-saat menghadapi gagasan di dalam buku adalah saat-saat dimana kita dapat menilai apakah kita masih dikungkung oleh suatu kebencian fasistik ataukah makin cukup terbuka untuk maju. Saya memilih untuk menunjukkan kita semakin maju dan bukan sebaliknya. Bagaimana dengan Anda?

[dam]

Catatan: Tulisan ini mengutip draft paper Robertus Robet untuk materi Kuliah Umum mengenai ‘Pelarangan Buku dalam Politik Kebudayaan Indonesia’, kerjasama Elsam dan Dewan Kesenian Jakarta, Rabu, 17 Maret 2010. Sedang aksi gerakan Stop Bakar Buku mengutip dari isi Surat Protes di Change.org Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun