Buktinya, Masjid Al-Mukhlisin itu sendiri mimbarnya masih mencerminkan sebuah masjid kaum ahlussunah waljamaah.
Ada sebatang tongkat di mimbar masjid itu, yang dipegang oleh khatib ketika sedang membaca khutbah, baik khutbah Jumat maupun khutbah shalat hari raya.
Sepertinya, tradisi dan penguatan budaya masyarakat dalam beragama di Tanjung Pucuk Jambi ini, patut dirawat dengan baik.
Dihadirkannya Buya Malin untuk mengisi agenda maulid, tentu bagian dari penguatan kajian Syattariyah itu sendiri. Kajian Syattariyah yang menjadi amalan masyarakat di situ sejak dulunya.
Tak goyah oleh banyaknya corak dan ragam pengajian yang berkembang saat ini. Adalah guru dan ulama yang membuat paham itu terpancang kuat di tengah masyarakat.
Buya Malin tak sendirian. Ada sejumlah jemaah yang diangkutnya ke sana, guna untuk membangun jembatan silaturahmi yang dikemas dalam kegiatan safari dakwah.
Pertalian pengajian masyarakat Tanjung Pucuk Jambi masih kuat dengan silsilah Syekh Burhanuddin Ulakan, Padang Pariaman.
Buya Yahya, seorang tokoh ulama dan pemuka masyarakat Tanjung Pucuk Jambi menyebutkan, kalau dia lama mengaji dan menuntut ilmu dulunya di Padang Pariaman.
"Dimano Pariaman," tanya Buya Yahya ke Bustanul Arifin Khatib Bandaro, perwakilan Majlis Zikir dan Shalawat Al-Wasilah di Padang Pariaman yang ikut bersama Buya Malin ke Tanjung Pucuk Jambi malam itu.
Saya lama di Ampalu Tinggi, kata Buya Yahya melanjutkan pembicaraan. Tahun 1975 dia sudah mengaji di Kalampaian Ampalu Tinggi bersama Syekh H. Ibrahim, seorang ulama besar, pengelola pesantren tertua di Padang Pariaman.
Sama dengan Bustanul Arifin yang lama juga mengaji di Kalampaian itu. Tapi beda tahun. Buya Yahya ini masuk ke Ampalu Tinggi, Bustanul Arifin masih dibawa-bawa oleh ayahnya.