Ibadah kurban sudah ada sejak Nabi Adam AS. Kasus kurban yang dilakukan dua putra nabi pertama ini menjadi inspirasi tersendiri, dalam memperbaiki kurban yang kita lakukan saat ini.
Umat Islam dianjurkan berkurban tiap tahun. Hari Raya Idul Adha juga disebut sebagai hari raya kurban. Momen kurban itu mulai 10 Zulhijjah atau pas di hari raya kurban itu. Lalu tiga hari setelahnya.
Kurban ibadah sunah muakad, yang tinggi dan besar pahalanya di sisi Allah SWT.
Kurban juga disebut sebagai ibadah sosial, memberikan rasa kepedulian terhadap lingkungan dan sesama manusia dan umat Islam.
Dua putra Nabi Adam, Habil dan Qabil yang disuruh berkurban dalam menentukan jondohnya dengan sistim kawin silang saat itu.
Oleh Allah hanya satu dari dua kurban itu yang diterima. Yakni, Habil. Dia berkurban sesuai profesinya sebagai petani, dia kurbankan hasil pertaniannya yang bagus-bagus.
Sementara, kakaknya, Qabil sebagai tukang ternak berkurban seekor kibas, tetapi yang cacat, kibas yang paling buruk, yang tidak laku di pasaran.
Ini menandakan, bahwa kurban itu harus dengan ikhlas, barang dan hewannya yang bagus. Tidak cacat dan sakit, seperti kurbannya Qabil.
Kurban adalah sebagai manifestasi dari pembuangan sifat binatang yang terselip dalam diri orang yang berkurban.
Ada tiga golongan yang berhak menerima daging kurban. Pertama orang yang berkurban sendiri. Orang yang berkurban dibolehkan memakan daging sapi yang dikurbankannya, tapi sebagian. Tidak boleh banyak.
Yang kedua, tetangga dan kerabat dekat. Tak dihitung apa tetangga dan kerabat itu kaya atau miskin, mereka adalah golongan yang kedua yang berhak menerima bagian dari kurban kita.
Ketiga, kaum fakir miskin. Kepada golongan ini memberikan daging kurban termasuk wajib hukumnya.
Kurban yang dalam bahasa Indonesia adalah dekat.
Artinya, kurban adalah upaya kita mendekatkan diri kepada Allah SWT, Tuhan Yang Maha Kuasa. Lewat kurban, kita mengerti betapa dalam harta yang kita punyai, ada hak orang lain yang mesti dibayarkan.
Tentu, kurban adalah ibadah sunah diluar sedekah. Kurban tersendiri, punya ketentuan waktu yang tidak bisa kita lakukan diluar waktu Idul Adha tersebut.
Dalam bahasa yang lebih luasnya, kurban sesuai kesanggupan masing-masing kita. Tak mesti sepertujuh sapi atau seekor kambing.
Di sekolah-sekolah malah para guru menganjurkan anak didiknya untuk berkurban sebutir telor. Dan ini boleh.
Mengajar kurban sejak usia dini. Dari usia sekolah dilatih untuk memberi, tentu setelah dewasa akan terbiasa dengan perbuatan baik itu.
Yang paling penting dari ibadah kurban adalah ketaqwaan dan keikhlasan kita melakukannya. Ikhlas, mudah menyebutnya tapi sulit merealisasikannya.
Dengan tidak ikhlas, dan dengan rasa sombong itulah kurban Qabil tidak diterima oleh Allah. Sementara, kurban Habil yang terdiri dari hasil pertaniannya, tetapi barang dipilih dengan baik, bahkan yang paling baik dan rancak maka langsung diterima oleh Allah.
Penerimaan kurban pertama di dunia itu ditandai turunnya api yang putih dari langit dan menyambar kurbannya Habil.
Lalu, zaman sekarang bukti kurban kita diterima oleh Allah, tidak lagi seperti zaman Nabi Adam AS. Bukti kurban kita diterima oleh Allah, tercermin dalam sikap dan kepribadian kita sendiri.
Kurban melahirkan kekuatan dan kesalehan sosial dalam diri kita. Peka terhadap lingkungan dan masyarakat, terutama terhadap kaum yang berkekurangan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H