Lapau atau warung kopi, sepertinya media yang ampuh dalam bersosialisasi di tengah masyarakat.
Disebut demikian, hampir semua orang di Minangkabau menikmati enaknya duduk di lapau. Lapau ini hampir semua punya waktu untuk menampung berbagai persoalan yang dibawa oleh penikmatnya.
Banyak yang membawa, dan tentu tak sedikit pula yang menerima di lapau itu. Segala persoalan, ekonomi, politik, sosial sampai ke persoalan rumah tangga kawan pun dibahas di lapau.
Belanja tak seberapa, otanya sepanjang jalan. Sesukanya saja membuka obrolan, sampai yang lain tak punya kesempatan sepertinya membahas demikian. Sebelah Ilir duduk agak berempat atau lebih, sibuk dengan pembahasan caleg.
Lalu yang di bagian ruangan lapau itu juga, hanya mendengar sambil main kartu. Lalu, di luar sibuk dengan tontonan sepakbola, yang nyaris bersuara lantang ketika bola nyaris gol oleh tim jagoannya.
Sementara, pemilik lapau tak henti-hentinya bekerja, membuat minuman dan makanan sesuai selera pemesan yang jadi langganan lapau itu.
Lapau ini banyak pula jenis dan coraknya. Ada yang pagi saja ramainya. Seperti lapau penyedia minum pagi. Mereka menjual lontong dan ketupat, serta serba cukup minuman panas dan dingin. Ini sampai siang ramainya.
Ada lapau siang ramainya. Sementara pagi nyaris tak ada orang nongkrong. Pemiliknya biasa ini menyediakan makanan nasi goreng, mie rebus, kopi, teh serta minum lain yang jadi favorit di masyarakat.
Buka siang dan tutupnya tengah malam. Kadang sudah azan Subuh baru tutup. Pelanggannya banyak dan terus saling berganti antara siang dengan malam.
Momen sekarang, tahun politik, orang sudah mulai mengajukan caleg, sepertinya lapau kembali ramai dengan perbincangan intelektual.
Membahas soal isyu politik lokal dan nasional. Apalagi tahun politik ini berbarengan pula dengan pilkada tahun 2024, habis semuanya jadi ramai.
Biasanya yang tidak bisa diputuskan di kantor partai, lapau tempat paling sukses membahas itu. Selesai semua. Sebab, di lapau orang sudah bercampur. Ada ide dan masukan dari orang lain yang tentunya bisa diambil oleh orang partai.
Ingat, di lapau ini pula para caleg banyak merasa tertipu, merasa dibangkung. Dan ini tak satu dua caleg yang merasa dikibuli oleh persoalan pembekakan hitungan belanja ini.
Tentu tak semua caleg pula yang mau diberlakukan seperti itu. Para caleg yang sudah terbiasa di kampung, mereka minta dihitung kembali. Hitung dengan jelas.
Dia bisa mempertanyakan, kok bisa sebanyak itu. "Saya juga bisa menghitung," katanya dengan keras.
Tentu ulah orang lapau ini terjadi akibat pelanggan yang berhutang sampai berbulan-bulan tak dibayar, lalu oleh orang lapau disangkutkan dengan caleg yang juga temannya si pelanggan lapau tadi.
Dinamika sosial kemasyarakatan Padang Pariaman dan Minangkabau tentunya, bergantung pada situasi di lapau itu. Bila di lapau ada politisi dan penyelenggara pemilu, maka penuhlah nuansa politiknya. Berketuntang, saling bersahutan dan berbalas pantun mereka sambil menghabiskan kopi atau teh telor.
Soal politik ini lebih banyak dibicarakan ketimbang ekonomi. Politik lebih dinamis dan mudah untuk dibenturkan, sedangkan ekonomi lebih pada pemasukan dan keuntungan, sehingga jarang jadi pembahasan bersitegang urat leher orang di lapau membahasnya.
Dan lagi, orang ekonomi ini jarang sosial lapaunya. Mereka lebih fokus menghabiskan waktu di lahan kerjanya, ketimbang bersosial di lapau sambil minum kopi.
Begitu juga PNS dan pegawai kantor nagari. Mereka lebih banyak kerja ketimbang duduk di lapau. Produk Ota lapau ini banyak jadi acuan, karena analisa politiknya cukup tajam dan jitu. Jarang meleset, dan sering banyak terpantau hasil akhir dari situasi politik, baik pileg maupun pilpres dan pilkada.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H