Mohon tunggu...
Damanhuri Ahmad
Damanhuri Ahmad Mohon Tunggu... Penulis - Bekerja dan beramal
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Ada sebuah kutipan yang terkenal dari Yus Arianto dalam bukunya yang berjudul Jurnalis Berkisah. “Jurnalis, bila melakukan pekerjaan dengan semestinya, memanglah penjaga gerbang kebenaran, moralitas, dan suara hati dunia,”. Kutipan tersebut benar-benar menggambarkan bagaimana seharusnya idealisme seorang jurnalis dalam mengamati dan mencatat. Lantas masih adakah seorang jurnalis dengan idealisme demikian?

Selanjutnya

Tutup

Tradisi Pilihan

Singkronisasi Khutbah Jumat dengan Shalat Tarwih, Perlu Kah?

26 Maret 2023   14:16 Diperbarui: 26 Maret 2023   14:20 631
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Masjid Baitul Hajar Balah Hilie Lubuk Alung, Kabupaten Padang Pariaman. (foto dok pribadi)

Malam keempat Ramadhan 1444 H, Sabtu (25/3/2023), saya Tarwih di Masjid Baitul Hajar, Balah Hilie Lubuk Alung, Kabupaten Padang Pariaman.

Ini jadwal pertama dari dua jadwal yang dialokasikan pengurus masjid. Dan juga seperti tahun yang sudah-sudah, tahun ini saya diberi jadwal dua kali.

Menelisik dalam benak saya, sepertinya masjid itu tak mempersoalkan berbagai tradisi dan tata tertib Shalat Tarwih Ramadhan tersebut. 

Kenapa demikian, ya sebuah kejanggalan saja, bagi orang yang tahu tentunya. Shalat Jumat dengan khutbah bahasa Arab, Tarwih Ramadhan delapan rakaat dua salam, yang lazim dilakukan di masjid-masjid kantongnya Muhammadiyah.

Sepertinya, tak ada yang mempersoalkan pelaksanaan shalat Tarwih seperti itu di Masjid Baitul Hajar. Buktinya, sudah sekian tahun saya menikmati jadwal yang diberikan pengurus masjid itu. Shalat tetap seperti itu.

Tidak seperti Masjid Berkah yang Tarwih-nya delapan rakaat, tetapi dua-dua, dan Witir dua dan satu. Melihat sekilas, Masjid Baitul Hajar basisnya Syathariyah, lantaran khutbahnya bahasa Arab, seperti masjid kampung yang tidak kampungan.

Imam Tarwih-nya tetap, seorang hafidz Quran tentunya. Bacaannya fasih, makhrajul hurufnya jelas, sehingga menyenangkan makmum yang mengikuti dari belakang.

Masjid Baitul Hajar sudah gagah. Karpetnya menyejukkan dahi ketika sujud. Pendidikan MDTA berlangsung dengan dinamikanya.

Ada giliran untuk anak-anak MDTA tiap malam, sebelum Tarwih. Ya, sebagai pembawa acara dan kultum seorang santri atau santriwati.

Jadi, pengurus masjid cukup mengurusi hal-hal besar, seperti mengurus kemasukan paket pebukaan tiap senja, serta paket untuk sahur tentunya.

Sementara, untuk kemajuan pengajian, sudah menjadi gawenya anak-anak MDTA itu. 

Paling tidak, Madjid Baitul Hajar mampu melakukan kaderisasi ulama atau calon pendakwah. Bayangkan, tiap malam tampil dua sampai empat orang, dengan peragaan yang beda tentunya.

Tak banyak masjid seperti ini. Dan ini harus terus dikembangkan oleh Masjid Baitul Hajar demi masa depan agama dan masyarakat Lubuk Alung secara umum. (ad)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Tradisi Selengkapnya
Lihat Tradisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun