Meski tak masuk dalam aturan selamat dalam pelatihan, pelaksanaan shalat berjemaah tetap menjadi prioritas oleh peserta pelatihan manajemen pondok pesantren se Sumbar dan Jambi.
Terasa sekali suasana di pesantren. Kira-kira begitu kita lihat pemandangan di mushalla kecil di komplek Balai Diklat Keagamaan (BDK) Padang selama pelatihan.
Pelatihan manajemen itu diadakan BDK Padang sejak 13 hingga 18 Maret.
Banyak yang pakai sarung shalat berjemaahnya, dan tak sedikit pula yang langsung dengan celana panjang. Pokoknya, azan berkumandang, para ustadz, gus, dan kiyai ini bergegas mengambil wuduk, dan terus masuk mushalla di sudut belakang BDK itu.
Imam gantian, tapi tak ditentukan. Artinya, siapa diantara peserta itu saja. Begitu juga kalangan peserta pelatihan keuangan dari Kemenag Sumbar dan Jambi ini, menjadikan shalat berjemaah semacam kebutuhan.
Banyak yang memilih berjemaah di mushalla dan tidak sedikit pula yang memilih shalat berjemaah di Masjid Raya Sumbar. Enak dan mengasyikkan, sekalian menambah amal ibadah.
Sebab, Masjid Raya Sumbar tak jauh dari komplek BDK. Paling 10 menit jalan kaki, kita sudah sampai dalam masjid.
Tentunya, shalat berjemaah ini sudah menjadi ketentuan tersendiri pula di pesantren masing-masing. Hampir semua pesantren punya masjid dan surau, sebagai sarana untuk ibadah shalat berjemaah tentunya.
Lima waktu shalat wajib itu sehari semalam, dilakukan berjemaah. Luar biasa, dan tentunya menonjol sekali, kalau yang dilatih itu orang-orang surau atau pesantren.
Kilafiyah dalam amaliyah tak ada yang mempersoalkan. Tampak para peserta yang terdiri dari ustadz dan gus itu mengikuti saja. Atau apa sistemnya dalam praktek ibadah, juga diikuti oleh yang lain.
Misalnya, ada imam dari kalangan peserta yang ketika membaca ayat tidak pakai bismillah. Lalu, Subuh tak berkunut, tidak ada yang mempersoalkan.
Tentu ini perkembangan kajian pesantren kian lentur dan mau menerima perbedaan. Perbedaan amaliyah, dan cara ibadah, adalah bagian dari kekuatan Islam itu sendiri.
Sehabis salam ada imamnya yang langsung membawa zikir, dan banyak yang tidak. Artinya, persoalan zikir dan doa sehabis shalat terpulang pada pribadi masing-masing.
Dan ini tentu perbedaan yang tidak mendasar, yang tidak perlu dipersoalkan. Umumnya, pesantren yang berbasis surau atau pesantren yang bertrah Nahdlatul Ulama (NU), sehabis shalat berjemaah itu pasti melakukan wirid bersama.
Zikir dan doa bersama yang dipimpin oleh imam, atau santri yang disuruh oleh imam shalat. Atau di pesantren itu dibuat aturan azan bergiliran, memimpin zikir dan doa bergilir pula.
Seperti pesantren di Padang Pariaman, Sumatera Barat. Ini pesantrennya umum berbasis surau. Maka tradisi zikir dan doa sehabis shalat pun dilakukan secara bersama.
Pesantren berbasis surau itu kaya akan amal ibadah. Malah ada tradisi "sembahyang empat puluh hari". Artinya, ada kelompok lansia perempuan yang tidak lagi punya tanggungan, maka mereka lebih memilih berdiam di surau atau pesantren, lalu ikut sembahyang itu.
Cuma, kadang-kadang hal ini salah kaprah juga di sebagian kalangan ibu-ibu lansia itu. Selesai 40 hari, mereka pula ke rumah, lalu datang waktu shalat, mereka tidak ke surau lagi.
Seharusnya, praktek sembahyang 40 hari itu dijadikan pemancing semangat untuk terus sembahyang berjemaah tiap waktu. Tidak ada batasnya. Tiap waktu shalat wajib dilakukan berjamaah. Ini baru hebat dan luar biasa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H