Kenapa? Belakangan, NU di Sumbar memang luar biasa geliatnya. Banyak kegiatan pengkaderan.
Baik yang diadakan NU maupun oleh Banom NU. Banyak pengkaderan, otomatis melahirkan generasi penerus, anak muda progresif, yang suka berselancar di media sosial.
Dalam setiap momen pun disebut, bahwa Sumbar adalah Aswaja. Namun, dari pusat terlihat Sumbar adalah "ladangnya" Muhammadiyah.
Secara struktur, Muhammadiyah di sini sampai ke pelosok kampung. Banyak masjid dan surau berbasis Muhammadiyah.
Tapi, secara politik NU tak mau kalah dan ketinggalan. "Pokoknya, masjid dan surau yang tidak berlabel Muhammadiyah adalah kepunyaan NU," ujar pengurus NU dalam selorohnya.
Di sini, tampak sekali warga Sumbar ber-NU secara maknawi. Contoh, pesantren yang berlabel NU, sama sekali tak seberapa, tetapi pesantren dan santrinya jadi warga NU.
Ya, selain pesantren modern, bisa dikatakan tempat pengkaderan NU. Sumbar hari ini beda dengan dulu.
Banyak tokoh daerah ini yang masuk personil pengurus pusat, tentu harapan besar bagi daerah untuk bisa bangkit dan maju lagi, menyongsong abad kedua NU.
Sepertinya, NU di Sumbar tak begitu sulit untuk berkembang. Di sini masih kuat masyarakatnya bertradisi. Kegiatan keagamaan yang dibungkus dalam tradisi cukup banyak, dan itu mewarnai daerah terkait.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H