Selasa (7/2/2023) puncak peringatan Harlah satu abad Nahdlatul Ulama (NU). Mengangkat tema: merawat jagad membangun peradaban. Puncak harlah itu berlangsung 24 jam di Sidoarjo, Jawa Timur.
Dengan warna warni, semua warga NU merasakan kebanggaan tersendiri, setelah berjuang tentunya.
Belakangan, NU mashur dekat dan bahkan berada dalam lingkaran kekuasaan negeri ini.
Dan itu jamak diketahui semua orang. Kehadiran KH. Ma'aruf Amin di tampuk kekuasaan negeri ini, membuat NU ikut hanyut dalam politik kekuasaan.
Tarik menarik kepentingan dalam NU pun tak dapat dihindari. Sepertinya, oleh kekuasaan sendiri NU adalah kunci utama dalam menjalankan roda pembangunan.
Nyaris setiap kegiatan besar yang dilakukan NU, Presiden Jokowi hadir dan ikut memberikan sambutan.
Agaknya, momen seabad NU harus dijadikan titik nadir, dan kilas balik perjuangan para ulama dulu dalam membesar organisasi yang lahir 1926 ini.
KH. Hasyim Asy'ari, KH. Wahab Hasbullah, KH. Bisri Syamsuri dan kiai lainnya adalah spirit dan lokomotif dalam kehadiran organisasi Islam terbesar ini.
Secara nasional, NU telah berhasil melebur organisasi lokal menjadi tumpangan. Seperti Perti di Sumbar nyaris hilang dalam peredaran.
Suara organisasi yang lahir 2928 di Minangkabau ini, secara nasional tidak lagi bergema.
Isyu keagamaan, nyaris dipunyai oleh NU dan Muhammadiyah. Kedua organisasi ini terus mewarnai politik kebangsaan di tanah air ini.
Tentu kebesaran NU saat ini, tak bisa dilepaskan dari peran besar KH. Abdurrahman Wahid, dan tokoh NU lainnya di tahun 1984.
Tokoh yang tiga periode memimpin NU, akrab dengan sebutan Gus Dur, pernah jadi presiden ini mampu mengembalikan kekuatan NU dari partai politik, ke kekuatan politik kebangsaan.
Istilah NU kembali ke khittah sangat populer kala itu. Kembali ke asalnya, yakni mengurusi umat.
Menegakkan dakwah amar makruf nahi mungkar. Menyebar kedamaian lewat Islam rahmatan lil alamin.
Kembali ke khittah, meninggal PPP setelah berpusi ke partai berlambang Ka'bah pada tahun 1973.
Sebelum 1973, NU pernah jadi partai politik, dan ikut jadi partai empat besar di republik ini.
Setelah PNI, Masyumi dan NU menjadi partai besar. Luar biasa sekali, sehingga kekuatan NU berada dalam satu arah.
Penyederhanaan partai, NU terpaksa gabung dengan PPP. Suka duka dalam partai ini, membuat suara kepentingan kembali ke khittah bergema.
Ternyata, kembali ke khittah ini tak sia-sia. Organisasi tambah besar, dan besar. Keberadaannya kian diperhitungkan oleh negara.
Sepertinya, NU besar karena ada konflik. Konflik yang menjurus pada pembangunan kekuatan lembaga, adalah modal untuk bisa kuat dan besar.
Momen seabad NU pun tak lepas dari konflik. Ya, konflik kepentingan sejumlah partai besar.
PKB, sebagai partai yang dilahirkan NU rasanya sangat wajar mengklaim kalau dialah paling NU.
Suara NU adalah PKB, dan PKB adalah NU menjadi percaturan politik tingkat tinggi yang dimainkan KH. Said Aqil Siradj bersama Ketum PKB Gus Muhaimin Iskandar.
Namun, dibalik itu, PPP pun tak kalah serunya merangkul kekuatan NU. Golkar tak ketinggalan pula.
Apalagi PDI Perjuangan serta partai lainnya di republik ini. NU ada di mana-mana dan tidak boleh ke mana-mana.
Ini pesan yang paling jitu dalam memantapkan langkah politik kebangsaan NU di masa depan. (ad)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H