Sudah lima kali pemilu sejak era reformasi, membuat partai politik peserta kian matang dan kuat, terutama partai yang berhasil bertahan di parlemen.
Dan selama itu pula nomor urut partai selalu berganti. Diundi sebelum pemilu, dan ditetapkan lewat pleno KPU.
Luar biasa, dan tidak ada partai yang mempunyai nomor urut itu ke itu dari pemilu ke pemilu.
Setiap pemilu ganti dan berganti nomor, sesuai faktor keberuntungan masing-masing partai.
Dan hebatnya, setelah partai itu dapat nomor urut, langsung pula hokki dengan nomor itu. Pengurusnya tidak mempermasalahkan.
Jadi, setiap pemilu itu ada dua macam nomor urut. Di samping nomor urut partai yang tertera di atas lambang partai, juga ada nomor urut calon anggota dewan yang diusung oleh partai bersangkutan.
Sepertinya, oleh partai sendiri tak punya masalah apakah pakai nomor urut atau tidak dalam pemilu 2024 mendatang.
Yang utama oleh partai adalah ikut pemilu dan menang dalam pesta demokrasi lima tahun sekali itu.
Ini artinya, para pemimpin partai politik bersama kader dan konstituennya semakin cerdas, sehingga telah familiar dengan partai yang dia kelola.
Tetapi, banyak pengamat politik berbicara, bahwa nomor urut partai adalah identitas.
Nomor urut penting dan amat penting oleh partai itu sendiri, terlepas apakah memakai nomor urut lama atau nomor baru setelah pengundian.
Yang penting partai harus ada nomor urutnya. Begitu pengamat politik berbicara.
Coba bayangkan, ketika KPU melakukan pengundian nomor urut partai ini. Semua ketua umum dan sekjend partai hadir.
Tak ada partai yang mengutus wakil ketua atau ketua bidang pemenangan. Bahkan sampai berebut antara yang diundang KPU dengan yang tidak diundang, tetapi merasa pengurus partai.
Artinya, nomor urut dianggap sakral, dan punya pengaruh dalam pemenangan pemilu.
Tentunya, ketua umum yang mendapatkan nomor urut, akan menjadi kata kunci sebagai pengendali jalannya partai di tengah konstituennya.
Masyarakat arus bawah dan kader partai di tingkat desa hanya bisa berpegang pada apa yang dilakukan pimpinan nasional partainya.
Ketika gerakan petinggi partai tidak sesuai dengan dirinya, dengan enaknya kader paling bawah ini pindah ke lain hati.
2014 dia jadi anggota dewan dari partai A, pemilu 2019, dia dengan entengnya pindah ke partai G.
Lalu, merasa kurang pas, menghadapi pemilu 2024, dia bisa masuk dua partai, alias jaga badan, dan saat akan mendaftar tentu hanya boleh pakai satu partai.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H