Jadi santri sepanjang masa. Bisa. Harus bisa. Setidaknya, orang yang pernah mondok akan merasa risih bila disebut mantan santri.
Apalagi masanya menuntut ilmu di pesantren cukup panjang dan lama. Dia akan bangga dengan dilabeli sebagai santri oleh banyak orang.
Ini yang saya rasakan saat ini. Berbekal mengaji atau jadi santri sejak usia sekolah SD, menjadikan santri sebuah kekuatan dalam diri saya untuk senang berproses.
Tentu ini punya alasan tersendiri. Nabi Muhammad Saw dalam sebuah hadisnya menyuruh umatnya untuk menuntut ilmu dari hayunan hingga liang lahat.
Menuntut ilmu tak ada batasnya. Itu kira-kira nasehat guru besar pesantren saat acara prosesi menamatkan kaji di pesantren.
Dari kelas lima SD, saya sudah mulai mengaji kitab kuning dasar. Ya, tidak menetap sih. Pulang balik dari rumah ke sebuah surau di kampung.
Tamat SD, orangtua saya melihat bakat dan minat saya jadi santri cukup berpotensi, dia antar saya merantau ke Batusangkar.
Pondok Pesantren Darul Ulum namanya. Di situ saya belajar. Lima tahun lamanya mendalami kajian kitab kuning, bergaul dengan masyarakat dan santri yang datang dari berbagai daerah di Sumbar.
Selama itu, tiga asrama yang saya tempati. Mengaji dan belajar dengan guru senior. "Guru tuo" panggilan santri yunior ke senior.
Tentu panggilan kehormatan, sebagai adab di pesantren. Adab memuliakan guru atau yang senior meskipun kita tidak belajar dengan dia.