Peristiwa Surau Batu 9 Juni 1947, melahirkan sebuah museum. Museum Perang Sintuak namanya, tapi tidak di surau itu dibangun.
Museum ini terletak di pinggir jalan Sintuak - Pakandangan, masih dalam Korong Simpang Tigo, yang sama dengan lokasi Surau Batu.
Surau Batu Sintuak, terletak agak ke dalam, sekira 100 meter dari jalan, pasnya di tepi Sungai Batang Tapakih. 1947, dua tahun setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, menjadi tragedi memilukan di Kabupaten Padang Pariaman ini.
Tercatat 40 orang Tentara Rakyat Indonesia atau TRI, yang kelak berubah nama menjadi TNI ditembak secara ganas di depan surau itu.
Namun, tak semua yang mati kena tembak. Ada tiga orang yang sebelum bedil Belanda menyalak, mereka mencebur duluan ke sungai, sambil menghanyutkan diri.
Ya, mencebur seolah sudah ditembak, sehingga pihak Belanda yang mengeksekusinya tidak mengetahui kalau mereka hidup. Di tembak dari belakang, dan kekuatan bedil luar biasa mencampakkan tubuh manusia itu ke sungai.
Senja, di saat matahari tak lagi menyinari nagari itu, tawanan Belanda itu diangkut ke Surau Batu dalam keadaan tangan diikat dari belakang.
Tersebutlah nama Buyuang Gati, yang menceburkan diri ke sungai saat tembakan Belanda ke yang lain. Setelah itu, ikut pula mencebur Hongkong dan disusul Nasir Labai Buyuang Itik.
Mereka hanyut bersamaan dengan hanyutnya jenazah puluhan kawannya yang lain. Air sungainya yang keruh, ditembak di perpisahan malam dengan siang, tentu menjadi peluang tersendiri bagi yang bertiga selamat ini dengan aman.
Nasir Labai Buyuang Itik yang pertama kali muncul, keluar dari menghanyutkan diri, lalu bersembunyi dan hadir di kedai kopi, dan bercerita panjang lebar terhadap sadisnya peristiwa demikian.
Besoknya, semalaman tak mencogok, lalu paginya terlihat ada kedai, ada banyak orang nongkrong yang tentunya kenal dengan Nasir Labai Buyuang Itik ini.
Sebab, masih dalam Kecamatan Sintuak Toboh Gadang, kampungnya sendiri dan menjadi cerita yang sangat hati-hati diceritakan Nasir Labai Buyuang Itik ini ke tengah masyarakat yang ada di kedai itu.
Dan cerita itu semakin terang, dan pernah dibukukan, sebagai bukti Sintuak punya sejarah perjuangan yang sangat hebat terhadap penjajah Belanda.
Begitu juga Buyuang Gati dan Hongkong, pun bercerita di tempat dia ditemukan masyarakat dalam keadaan lunglai, sehabis hanyut di sungai yang cukup deras.
Sejak tiga tahun belakangan, seorang anak muda Sintuak, Bagindo Rio Chaniago mendirikan sebuah museum.
Kehadiran museum ini cukup punya arti dalam mengingatkan kembali sejarah heroik perang Sintuak, yang membuat puluhan tentara yang berasal dari rakyat mati syahid.
Sebelum museum ini ada, sempat dibuat tugu di halaman Surau Batu, tapi hanya sekedar pondasi, dan tak pernah mewujud, sehingga museum lebih bergairah saat ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H