Mohon tunggu...
Damanhuri Ahmad
Damanhuri Ahmad Mohon Tunggu... Penulis - Bekerja dan beramal
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Ada sebuah kutipan yang terkenal dari Yus Arianto dalam bukunya yang berjudul Jurnalis Berkisah. “Jurnalis, bila melakukan pekerjaan dengan semestinya, memanglah penjaga gerbang kebenaran, moralitas, dan suara hati dunia,”. Kutipan tersebut benar-benar menggambarkan bagaimana seharusnya idealisme seorang jurnalis dalam mengamati dan mencatat. Lantas masih adakah seorang jurnalis dengan idealisme demikian?

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Balai Batu Koto Gadang Maek dan Perpisahan Niniak Mamak yang "Barampek"

1 Juni 2022   12:30 Diperbarui: 1 Juni 2022   12:36 399
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Balai Batu Koto Gadang Maek, adalah tempat berunding niniak mamak yang barampek dulunya. (foto dok damanhuri 

Lain situs cagar budaya Menhir Koto Tinggi, lain pula pesona cagar budaya Balai Batu di Jorong Koto Gadang, Maek.

Juga menyimpan Menhir di belakang rumah penjaganya. Tak banyak sih. Paling seratusan, tapi ada batu yang tersusun rapi, Balai Batu namanya.

Tempat niniak mamak zaman dulu berunding, memutuskan berbagai persoalan adat yang berlaku dalam kampung.

Sekaligus Balai Batu itu sebagai tempat perpisahan niniak mamak yang "barampek". 

Niniak mamak yang barampek itu, Datuak Bandaro pergi ke Maek, tak jauh dari Koto Gadang. Datuak Siri pergi ke Mungka, Datuak Majo Indo pergi ke Koto Laweh, dan Datuak Rajo Dibalai pergi ke Muara Takus.

Jadi Balai Batu adalah tempat bersejarah, tempat mendudukkan persoalan sako jo pusako. Membicarakan kemaslahatan sanak kemenakan.

Kami bertiga, Selasa (31/5/2022) itu habis Shalat Zuhur di Aurduri, langsung arah pulang, dan balik lagi, lantaran terlewat Balai Batu Koto Gadang.

"Baliklah kita lagi. Ini menhir yang tersimpan rapi dan bersih, sering dibersihkan, dan patut kita lihat dari dekat," kata Boby.

Pipit Faidal Fanum yang berboncengan dengan saya menganggukan, tanda setuju balik arah ke Maek. Tak jauh. Paling lewat 150 meter. Di Koto Gadang jalannya lurus saja.

Rumah penduduk sudah ramai kiri kanan jalan. Namun, jalannya masih sepi.btak begitu banyak kendaraan di jalanan.

Siang yang masih terik, terasa sekali peluh keluar. Langsung ke arena Balai Batu. "Ini candinya," sebut Boby.

"Tidak. Itu tidak candi. Itu Balai Batu," sela seorang ibu setengah baya. Lalu kami berdialog.

Dia sedang membersihkan semak, sekalian menyabit rumput buat ternak barangkali. Di luar pagar Menhir.

Namun, ibu setengah baya ini tak tahu banyak pula ceritanya. "Yang tahu cerita ini, siapa niniak mamak yang punya hak peto di balai ini, suami awak yang tahu," sebut dia.

Menurut cerita banyak orang di kampung itu, Balai Batu sering dijadikan tempat menolak bala.

Artinya, ketika dalam kampung sudah ada bala, seperti padi acap tak menjadi, ladang masyarakat sering tidak menghasilkan, maka para pemuka kampung memutuskan untuk diadakan ritual tolak bala.

Bertempat di Balai Batu. Tentu sekampung itu orang datang, membawa makanan, dilakukan kegiatan tolak bala menurut ilmu dan tradisi yang berlaku di kampung itu.

Kami sempat naik ke rumah ibu setengah baya, penunggu Menhir Koto Gadang itu. Lama bercerita, melihat buku peninggalan orang yang sudah melakukan penelitian di kampung itu soal Menhir.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun