Artinya, milik pustaka bolehnya dibaca di ruangan pustaka. "Penyakit minjam buku di bawa pulang atau ke tempat tinggal, susah baliknya," kata pengurus pustaka itu.
Makanya, tatkala pustaka dibuat, ya bukunya ada, rak buku cukup, dan ruangan untuk membaca pun disediakan.
Hampir tiap hari, terutama sore dari Ashar jelang Magrib, sebagian santri menghabiskan waktunya di pustaka.
Tentu tidak semua santri sih. Sebab, sebagian ada yang piket memasak nasi, lalu sebagian ada yang olahraga.
Lewat pustaka ini, pesantren yang berdiri 1940 ini ingin mengembangkan nilai-nilai intelektual santri.
Mengembang budaya baca tulis, yang kian tergerus akibat permainan begitu banyak mempengaruhi waktu senggang anak-anak.
Jago baca kitab kuning, mahir berdiplomasi lewat literasi yang disediakan seadanya.
Santri yang tengah menuntut ilmu di pesantren punya potensi besar untuk jadi penulis hebat. Namun, tentu harus diasah dari sekarang.
Berdakwah lewat tulisan, nilainya lebih mantap dari dakwah secara lisan. Tahan lama, dan tentunya pahalanya akan terus mengalir, sepanjang karya tulis itu dibaca orang lain.
Ada banyak contoh dan pelajaran soal menulis dan membaca ini dari santri zaman dulu. Bahkan, kitab kuning yang dipelajari santri saat ini, adalah buah karya santri zaman dulu.
Pesantren terus menerima masukan dan sumbangan buku dari berbagai pihak yang ingin menyumbangkan bukunya ke pustaka Madrasatul 'Ulum.