Mohon tunggu...
Damanhuri Ahmad
Damanhuri Ahmad Mohon Tunggu... Penulis - Bekerja dan beramal
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Ada sebuah kutipan yang terkenal dari Yus Arianto dalam bukunya yang berjudul Jurnalis Berkisah. “Jurnalis, bila melakukan pekerjaan dengan semestinya, memanglah penjaga gerbang kebenaran, moralitas, dan suara hati dunia,”. Kutipan tersebut benar-benar menggambarkan bagaimana seharusnya idealisme seorang jurnalis dalam mengamati dan mencatat. Lantas masih adakah seorang jurnalis dengan idealisme demikian?

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Mendengar Serine Radio Tetangga Kala Buka Puasa

11 April 2022   19:35 Diperbarui: 11 April 2022   19:40 634
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tim Safari Ramadhan sedang memberikan wejangan di Surau Gadang Salibutan Lubuk Alung. (foto dok damanhuri)

Radio tetangga itu jadi pusat perhatian di kala senja, jelang buka puasa tahun 1980an. Di rumah orangtua saya sendiri tak punya radio, sehingga setiap senja suasana hening dan sedikit mencekam.

Kala itu, di rumah hanya lampu minyak tanah untuk penerangan. Listrik belum masuk. Diantara kakak beradik yang mulai belajar puasa, hanya saya dan seorang kakak saya, serta ayah dan ibu.

Serine radio berbunyi, kami pun berebutan mengambil rujak mentimun, atau air kelapa muda yang sudah disiapkan sebelumnya.

Termasuk di surau dan rumah orang lain, di kampung itu sama-sama memakai lampu minyak tanah. Di kampung disebut "dama togok".

Paling berada orang, itu di rumahnya pakai lampu strobgkeng. Juga pakai minyak tanah.

Dinamika pergerakan keagamaan terasa sekali nikmatnya. Ramadhan jadi bagian terpenting untuk meramaikan surau.

Habis buka puasa, kami bersiap untuk ke surau, membawa bekal berupa nasi untuk makan sahur.

Zaman itu, orang seangkatan saya umumnya tidur di surau tiap malam. Baik puasa maupun di luar bulan puasa, tetap surau tempat tidur malam.

Bagi yang ketahuan tidur di rumah, akan kena buly oleh kawan sama besar. Ini masih menyusu dengan ibu, ya. Begitu ocehan besoknya di surau.

Ibu selalu menyiapkan menu buka puasa, sesuai batas kemampuannya. Dan kami pun tak banyak menuntut.

Rata-rata, menu buka hasil kebun dan ladang. Paling es batu yang dibeli. Setiap puasa ada warung yang khusus jualan es batu tiap petang.

Ajo Sahril namanya. Warungnya hanya terpal saja yang dilingkari dengan tonggak kayu.

Ada es kukur, pakai tapai, cendol, es tebak namanya yang dijualnya. Tiap sore orang kampung itu antrian menunggu es kukur di situ.

Sesekali ibu juga menyuruh kami ke warung untuk membeli "gado-gado", aneka makanan yang terbuat dari sayuran.

Namun, jam buka puasa tetap radio di rumah sebelah yang ditunggu.

Malam, ikut tadarusan Quran, jelang Shalat Tarawih. Shalatnya 23 rakaat. Awal puasa informasinya lewat meriam.

Tiap malam, Tarawih agak larut malam. Hanya anak-anak kampung yang kuat ikut shalat di tengah malam itu.

Usai shalat, langsung saja makan sahur dengan bekal yang dibawa dari rumah tadi. 

Ramadhan tahun ini, tak ada lagi bunyi serine terdengar. Hanya suara azan Magrib. Mungkin jam sudah tepat setiap android banyak orang. 

Begitu juga radio, nyaris tak bisa lagi diakses. Perubahan zaman dan peralihan waktu yang berlaku secara alami tentunya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun