Rata-rata, menu buka hasil kebun dan ladang. Paling es batu yang dibeli. Setiap puasa ada warung yang khusus jualan es batu tiap petang.
Ajo Sahril namanya. Warungnya hanya terpal saja yang dilingkari dengan tonggak kayu.
Ada es kukur, pakai tapai, cendol, es tebak namanya yang dijualnya. Tiap sore orang kampung itu antrian menunggu es kukur di situ.
Sesekali ibu juga menyuruh kami ke warung untuk membeli "gado-gado", aneka makanan yang terbuat dari sayuran.
Namun, jam buka puasa tetap radio di rumah sebelah yang ditunggu.
Malam, ikut tadarusan Quran, jelang Shalat Tarawih. Shalatnya 23 rakaat. Awal puasa informasinya lewat meriam.
Tiap malam, Tarawih agak larut malam. Hanya anak-anak kampung yang kuat ikut shalat di tengah malam itu.
Usai shalat, langsung saja makan sahur dengan bekal yang dibawa dari rumah tadi.
Ramadhan tahun ini, tak ada lagi bunyi serine terdengar. Hanya suara azan Magrib. Mungkin jam sudah tepat setiap android banyak orang.
Begitu juga radio, nyaris tak bisa lagi diakses. Perubahan zaman dan peralihan waktu yang berlaku secara alami tentunya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H