Radio tetangga itu jadi pusat perhatian di kala senja, jelang buka puasa tahun 1980an. Di rumah orangtua saya sendiri tak punya radio, sehingga setiap senja suasana hening dan sedikit mencekam.
Kala itu, di rumah hanya lampu minyak tanah untuk penerangan. Listrik belum masuk. Diantara kakak beradik yang mulai belajar puasa, hanya saya dan seorang kakak saya, serta ayah dan ibu.
Serine radio berbunyi, kami pun berebutan mengambil rujak mentimun, atau air kelapa muda yang sudah disiapkan sebelumnya.
Termasuk di surau dan rumah orang lain, di kampung itu sama-sama memakai lampu minyak tanah. Di kampung disebut "dama togok".
Paling berada orang, itu di rumahnya pakai lampu strobgkeng. Juga pakai minyak tanah.
Dinamika pergerakan keagamaan terasa sekali nikmatnya. Ramadhan jadi bagian terpenting untuk meramaikan surau.
Habis buka puasa, kami bersiap untuk ke surau, membawa bekal berupa nasi untuk makan sahur.
Zaman itu, orang seangkatan saya umumnya tidur di surau tiap malam. Baik puasa maupun di luar bulan puasa, tetap surau tempat tidur malam.
Bagi yang ketahuan tidur di rumah, akan kena buly oleh kawan sama besar. Ini masih menyusu dengan ibu, ya. Begitu ocehan besoknya di surau.
Ibu selalu menyiapkan menu buka puasa, sesuai batas kemampuannya. Dan kami pun tak banyak menuntut.