Itu pemandangan indah di pesantren berbasis surau. Bahkan, di pesantren ini tak sekedar untuk shalat sarung digunakan.
Acara kenduri lainnya pun, para ulama muda juga membiasakan sarung. Dan demikian itu berlaku sejak zaman dulu hingga saat ini.
Para ulama dulu, semakin mantap dan kokoh keulamaannya ketika dia pakai sarung.
Percaya dirinya tinggi, tatkala dia menggunakan sarung. Dia merasa kurang percaya diri ketika pakai celana panjang dalam beracara.
Itulah ulama sejati. Dia akan tahan duduk berjam-jam saat mengajar santrinya pakai sarung.
Dari pagi hingga waktu Zuhur masuk, sarung tak pernah tanggal dari balutan dirinya. Bahkan, sampai malam tiba, untuk tidur sekalipun, sarung ini setia menemaninya.
Tentu, sarungnya diganti. Di bedakan sarung untuk pakaian, untuk shalat dan untuk tidur.
Sarung adalah lambang kesantrian dan keulamaan. Masyarakat tahunya, kalau ulama dan santri itu pakai sarung dan peci.
Dengan ini pula, para ulama telah menanamkan kepada masyarakat akan arti penting sebuah sarung.
Sarung mampu mendatangkan kemudahan. Semuanya terasa ringan, dan enak dipakai, puas dengan ibadah, terasa sekali konsentrasinya masuk.
Ketika ulama itu telah tua dalam usia, sarungnya kian kokoh. Sambil ditemani sebatang tongkat, para santri mengiringinya pergi untuk Shalat Jumat.