Sarung dan peci erat kaitannya dengan Ramadan. Sebab, umum berlaku orang yang memenuhi masjid dan surau di bulan yang penuh berkah itu, selalu pakai sarung dan peci.
Apalagi seorang ulama, dalam kesehariannya tak pernah luput dari hiasan sarung dan peci.
Nuansanya beda, ketika ibadah shalat dilakukan pakai sarung dengan tidak pakai sarung.
Shalat akan terasa khusu' bila pakai sarung. Bagi masyarakat biasa, jelang shalat sarung dililitkan di leher, lalu saat shalat dipakai.
Sementara, di darek, bila malam tiba kaum laki-laki selalu pakai sarung. Suasana dan kondisi daerah yang dingin, membuat terasa enak, dan mengurangi rasa dingin.
Sarung adalah multi fungsi. Mampu menghadirkan nuansa indah dan mantap dalam beribadah.
Santri di pesantren menjadikan tradisi sarung sebagai kelazimannya dalam kesehariannya.
Di balik sarung santri, tersimpan aqidah yang kuat, akhlak yang mulia, kedewasaan berfikir dan bertindak.
Bila waktu shalat masuk, azan berkumandang dengan jelasnya, tampak para santri berjalan beriringan menuju anjungan tempat shalat berjamaah dilakukan setiap waktu.
Selempangan salameri, peci yang bagus membuat tampilan santri kian gagah dan kokoh dengan keulamaannya.
Itu pemandangan indah di pesantren berbasis surau. Bahkan, di pesantren ini tak sekedar untuk shalat sarung digunakan.
Acara kenduri lainnya pun, para ulama muda juga membiasakan sarung. Dan demikian itu berlaku sejak zaman dulu hingga saat ini.
Para ulama dulu, semakin mantap dan kokoh keulamaannya ketika dia pakai sarung.
Percaya dirinya tinggi, tatkala dia menggunakan sarung. Dia merasa kurang percaya diri ketika pakai celana panjang dalam beracara.
Itulah ulama sejati. Dia akan tahan duduk berjam-jam saat mengajar santrinya pakai sarung.
Dari pagi hingga waktu Zuhur masuk, sarung tak pernah tanggal dari balutan dirinya. Bahkan, sampai malam tiba, untuk tidur sekalipun, sarung ini setia menemaninya.
Tentu, sarungnya diganti. Di bedakan sarung untuk pakaian, untuk shalat dan untuk tidur.
Sarung adalah lambang kesantrian dan keulamaan. Masyarakat tahunya, kalau ulama dan santri itu pakai sarung dan peci.
Dengan ini pula, para ulama telah menanamkan kepada masyarakat akan arti penting sebuah sarung.
Sarung mampu mendatangkan kemudahan. Semuanya terasa ringan, dan enak dipakai, puas dengan ibadah, terasa sekali konsentrasinya masuk.
Ketika ulama itu telah tua dalam usia, sarungnya kian kokoh. Sambil ditemani sebatang tongkat, para santri mengiringinya pergi untuk Shalat Jumat.
Perjalanan yang panjang dan jauh, tak terasa. Niat untuk ibadah, jalan yang jauh, langkah kaki yang banyak akan bernilai pahala di sisi Allah SWT.
Di masjid saat Jumatan, ulama ini tiba duluan, dan pulangnya paling terakhir pula.
Ini yang diajar secara tak langsung oleh ulama zaman dulu. Dia tak pernah menyampaikan, tapi melaksanakannya secara langsung.
Suatu hal yang disebut dengan dakwah bil hal.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H