Apresiasi yang amat luar biasa terhadap NU disampaikan langsung oleh Presiden Joko Widodo, saat membuka helat besar organisasi kaum santri yang lahir 1926 ini, Rabu (22/12/2021) di Lampung.
"Saya membuka Muktamar ke-34 Nahdlatul Ulama di Lampung Tengah, siang ini," tulis dia di akunnya.
Presiden Jokowi menyampaikan terima kasih kepada NU yang terus mengawal jalannya pemerintahan, dengan senantiasa mengedepankan kebangsaan, toleransi, kemajemukan, Pancasila, UUD 1945, serta mengawal NKRI.
Sebuah ciutan yang menjadikan NU tak diragukan lagi perjuangannya terhadap bangsa dan negara, dalam beragama.
Moderasi beragama yang penuh dengan toleran, adalah langkah jalan tengah yang mampu meredam konflik agama di tengah bangsa yang majemuk ini.
Tak sekedar itu, mantan Walikota Solo ini datang ke arena muktamar NU di Lampung Sai Bumi Ruwa Jurai, pakai sarung, khasnya santri dan ulama.
Ya, khas ulama nusantara. Tidak pakai jubah, yang kebanyakan dipakai kelompok Islam lainnya.
Begitu benar seorang kepala negara menghargai dan menghormati organisasi terbesar di dunia ini. Apakah sarung Presiden bermerek NU?
Entahlah. Yang jelas, dia pakai sarung hijau, hijaunya NU. Dan sebelumnya, saat menghadiri acara besar NU lainnya, Jokowi tetap pakai sarung.
Sepertinya, NU sudah tidak asing bagi Jokowi. Dia tahu membawakan irama gendang, riuh rendahnya dinamika yang terjadi, seketika adem lewat tampilan sarungnya Jokowi.
Kondisi ini jauh beda dengan presiden-presiden sebelum Jokowi, yang cenderung lebih formal saat hadir di tengah komunitas sarungan.
Dan memang sudah menjadi tradisi setiap kali muktamar NU, yang membuka adalah Presiden, dan menutup Wapres.
Sepertinya, NU mengajarkan politik kebangsaan yang santun kepada semua anak bangsa. Biduk lewat, kiambang bertaut betul-betul dinikmati dan diresapi oleh NU.
Ini tercermin ketika muktamar ke-31 di Solo, Jawa Tengah tahun 2004. Ketua Umum PBNU KH Hasyim Muzadi yang sempat maju jadi Cawapres mendampingi Megawati Soekarnoputri kalah oleh pasangan SBY-JK.
Presiden SBY dengan gagahnya datang ke arena muktamar, dan membuka secara resmi. Begitu juga Wapres JK juga datang untuk menutup helat NU.
Presiden Joko Widodo, tampak beda dari pemimpin sebelumnya. Mungkin karena dia dari sipil, sehingga lebih senang dengan tampilan yang menyesuaikan keadaan yang sedang dihadapinya.
Bagi ulama NU dan santrinya, sarung dan memakai sarung dalam helat besar seperti muktamar, Konbes misalnya, tidak asing dan tidak ganjil, karena memang pakaian keseharian ulama.
Secara tak langsung, agaknya Presiden Jokowi menyampaikan agar warga NU kembali membudayakan tradisinya sendiri.
Ya, tradisi sarung dalam setiap momen apapun juga. Apalagi momen itu NU sendiri yang membuat, tentu tak salah bila semua peserta memakai sarung.
Di balik sarung presiden, sebuah buku karya KH Lukman Hakim, saat menulis tentang Presiden Gus Dur dulu, mengingatkan saya akan fenomena Jokowi yang memakai sarung di Lampung.
Banyak cerita yang lahir dari balik sebuah sarung. Banyak hikmah yang keluar dari ulama yang senantiasa pakai sarung, dan tentu banyak canda dan tawa ketika mendiskusikan perjalan bangsa ini.
Bicaranya lepas, tanpa beban apapun karena memang sudah menguasai bahan yang tengah dibicarakan. Tanpa beban, ya ulama itu netral, dan sedang tidak berpihak kepada kekuatan politik manapun.
Sarung, membuat langkah terasa ringan. Beribadah terasa sempurna, dan tentunya dalam rumah tangga sarung membuat semuanya jadi oke.
Sepertinya, Presiden Jokowi menyauk banyak ilmu dari seorang Presiden Gus Dur. Seorang tokoh besar NU yang mampu berzig-zag, dan bersilancar dengan elok di tengah pusaran politik yang keras.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H