Di sini saya merasakan sentuhan dari seorang guru, yang kemudian senang dijadikan kakak. Ismael namanya. Kami memanggilnya Ajo Maen. Di samping ada guru lain yang ikut mengajar saya selama lima tahun di Luhak Nan Tuo itu.
Mulai dari guru yang paling senior, seperti H. Kakan, H. M. Nur, Ali Nurdin Manjang, Pak Suin, Mahyuddin Apuak, Anwar, Iskandar, hingga ke guru yang sedikit senior di atas saya, seperti M. Jalil, Syahrial, Yurnalis, Zamzami dan guru lainnya yang semuanya ikut membentuk jiwa dan karakter saya, yang hingga kini hasilnya dinikmati.
Saat saya di pesantren itu, guru besarnya Salim Malin Kuniang baru saja pergi selamanya. Dia banyak meninggalkan jejak, sehingga pasca kepergian dia banyak guru senior yang lanjut usia yang mengaja di lingkungan pesantren itu.
Sementara, di SD sebelum ke pondok, Pak In adalah guru yang paling terasa nilainya. Guru olahraga yang bernama Indrawati ini berhasil menanamkan nilai kebersamaan.
Waktu kelas lima SD, Pak In yang terjun jadi guru kelas saya. Banyak olahraga, dan ada tradisi melihat kawan sakit secara bersama.
Waktu itu familiar, pisang sesikat, susu sekaleng. Waktu melihat kawan sakit, hanya dua macam itu yang dibawa dari hasil kas yang dipungut tiap minggu oleh Pak In.
Dari ajaran Pak In inilah saya gemar berorganisasi setelah dewasa. Selalu ingin kebersamaan, punya banyak jaringan, dan leluasa bergerak di bidang sosial kemasyarakatan.
Rasa ingin terus belajar, belajar dan belajar lahir. Banyak buku yang dinikmati setelah saya dewasa.
Tak heran, nabi mengajarkan tuntutlah ilmu itu sejak hayunan hingga liang lahat. Artinya, menuntut ilmu tak ada batasnya.
Maut yang memisahkan kita untuk berhenti menuntut ilmu. Ilmu semakin dituntut, akan semakin terasa pula kekurangan dalam diri kita. Begitu guru mengajarkan dulu di pondok.
Ajo Mael, santri asal Sarang Gagak, Koto Dalam ini akhirnya pindah mengaji dari Padang Magek ke Koto Laweh, dekat Padang Panjang.