Bekerja di sebuah media dan mengajar mengaji di surau, agaknya sama potensi jam kerjanya. Nyaris 24 jam. Lalu gajinya? Jangan tanya itu. Tak masuk akal dan di luar jangkauan akal sehat orang yang selalu melihat dengan logika.
Sejak awal reformasi hingga saat ini saya bergelut dengan dunia media, belum tercetus untuk alih profesi. Profesi jurnalis enaknya punya banyak jaringan, bebas berekspresi, berkreasi yang sesuai aturan main yang berlaku.
Tidak enaknya, kita sendiri yang memikirkan gaji kita. Kalau pun ada hitungan gaji dari perusahaan, kadang min pada saat perhitungan, lantaran banyak pula uang perusahaan yang termakan lewat iklan dan advertorial yang masuk lewat kita.
Saya berangkat dari bawah. Mulai dari loper merangkap koresponden di SKM Padang Pos 1999-2001. Ini media pertama sekaligus tempat belajar jadi jurnalis, di bawah pimpinan redaksi Basril Basyar.
Padang Pos cukup punya nama ketika awal-awal terbit, dan mewarnai dinamika media di Sumatera Barat. Dari awalnya 16 halaman, meningkat jadi 20 halaman. Punya jangkauan wartawan dan koresponden di seluruh daerah di Sumbar. Ulang tahun perdana media ini, tahun 2000 saya dapat prediket sebagai loper terbaik satu.
Sebagai wartawan pemula, di media ini saya banyak belajar dari wartawan senior. Rapat kerja redaksi yang sesekali diadakan di daerah, di lapangan membuat suasana kekeluargaan tumbuh dan berkembang dengan baik. Apalagi kala itu Basril Basyar yang juga dosen di Unand Padang juga menjabat Sekretaris PWI Sumatera Barat, sehingga laju pengorganisasian berjalan dengan mantap.
Di samping jurnalis yang acap membuat berita, saya juga penulis opini di media ini. Satu kali saya minta hitungan honor tulisan saya ke sekretaris redaksi.
Di kasihnya, lalu saya sodorkan ke bagian keuangan perusahaan. "Pembayaran honor harus ada cc atau persetujuan pimpinan umum," kata bagian keuangan menjawab permintaan saya.
Tentu ini alasan yang tepat, karena media itu pemilik atau pemegang saham terbesarnya adalah seorang pimpinan umum, yang kala itu dijabat Dian Wijaya, seorang tokoh pendidikan di Kota Padang.
Begitu seterusnya, ketika saya pindah media dari Padang Pos ke Semangat Demokrasi, Media Nusantara, Media Sumbar, Publik, Harian Bersama dan akhirnya berlabuh di Singgalang.
Memang tak salah, ketika pertama kali ikut Karya Latihan Wartawan (KLW) yang diadakan PWI Sumatera Barat tahun 2003, saya dapat doktrin, bahwa wartawan bukan pekerjaan untuk mencari kaya. Tapi wartawan tak pernah pula mati kelaparan.
Pelajaran dan doktrin di KLW ini lumayan terasa, dan menjadi warna tersendiri dalam perjalanan karir jurnalis saya sampai sekarang.
Dari KLW itu saya belajar investigasi, membuat laporan, menulis feature, dan menyajikan tulisan yang enak dibaca banyak orang. Ada tiga kali KLW yang saya ikuti. KLW sekalian ujian masuk PWI. Dari tiga kali itu, sekali saya tak lulus, sehingga kenaikan status PWI dari anggota muda ke anggota biasa baru terjadi 2006, setelah saya diamanani memegang mandat PWI di Pariaman.
Saya sebut nyaris bekerja 24 jam, banyak di luar jam kerja datang perintah liputan dan konfirmasi ke berbagai sumber berita.
Datang lewat sms. Kalau sekarang lewat wa. Kita di daerah paling sering dapat penugasan itu. Kadang tengah malam. Maklum, redaktur banyak bekerja hingga larut malam.
Mungkin sebagai wartawan paling kecil usia di daerah di antara sekian wartawan Singgalang di Pariaman, saya merasakan paling acap dan sering dapat penugasan. Baik yang lewat Korda maupun penugasan langsung dari Pemred.
Dasar pekerjaan ini sudah jadi kecanduan, semua penugasan itu saya tunaikan dengan baik. Mungkin, ibarat utang terbayar lunas sesuai waktu perjanjian, pimpinan itu jadi candu memberikan tugas ke saya.
Artinya, wartawan memang dituntut mampu dan mau bekerja di bawah tekanan. Ya, tekanan datang dari pimpinan bukan dari pihak lain. Mulai dari Korda yang memimpin organisasi media itu di daerah, redaktur halaman, Redpel, sampai ke pimpinan redaksi dan pimpinan umum.
Hebatnya, tekanan itu terasa bagaikan motivasi untuk terus bekerja dan berbuat sampai betul-betul ada realisasi dari wacana yang kita kembangkan di media tersebut.
Tekanan dan perintah yang sering itu berkurang, saat dunia digitalisasi merambah kehidupan sekarang. Wartawan cenderung berekspresi sendiri, membuat dan melahirkan media secara berkelompok pula, yang dimulai dalam skala kecil.
Tak heran, sekarang banyak lahir media online yang dikembangkan oleh seorang wartawan. Mulai kecil, lama-lama besar sendiri dengan bertambahnya jaringan dan jejaring yang hampir menyungkup daerah-daerah lain di luar pusatnya media itu terbit.
Media Sumbar menjadikan saya jadi anggota muda PWI, setelah ikut tes dan KLW tahun 2003. Tabloid Publik menaikan status keanggotaan PWI saya dari muda ke biasa, juga lewat KLW tahun 2006.
Mendiang Fadril Aziz Isnaini Infai, Pemred Media Sumbar, adalah tokoh pers dan guru jurnaliktik saya yang senang dianggap kawan. Bertemu di Padang Pos dulu, saat dia pemimpin perusahan koran itu.
Secara detail dia mendoktrin saya jadi wartawan, saat rapat kerja Padang Pos di Sungai Limau, Kabupaten Padang Pariaman. "Damanhuri, ya," sapa Infai saat bersua saya yang datang dalam rapat kerja itu.
Dalam diskusi yang cukup panjang itu, dia minta saya membuat sebuah berita sebagai produk jurnalis. Dikasihnya contoh, lalu ditunjukannya pihak-pihak yang mesti di wawancarai.
Mungkin Infai melihat, potensi jurnalis itu ada dalam diri saya. Dan sejak awal, memang saya hanya sebagai loper, mengantarkan koran pelanggan yang telah di garap oleh wartawan koran itu, Amiruddin di sejumlah nagari.
Dari Padang Pos, Semangat Demokrasi, Media Nusantara, dan Media Sumbar tetap Infai tokoh sentralnya. Dia wartawan senior yang terkenal idealis dan miskin. Di tengah Pemred media sudah punya mobil pribadi, Infai masih setia dengan motor bututnya.
Masuk PWI pertama kali lewat ujian dan KLW pun dorongan dan motivasi yang diberikan Infai kepada seluruh jajaran Media Sumbar, terutama yang belum masuk organisasi tersebut.
Pertama kali ikut tes PWI itu, bayarnya masih Rp250 ribu. Tapi bagi saya kala itu uang sebanyak itu cukup terasaahal dan banyak. Apalagi, saya belum punya banyak relasi. Dari hasil penjualan koran di daerah, uang untuk ikut tes PWI itu saya ambilkan.
Bagi Infai, semua wartawannya harus PWI dan ikut tergabung dalam organisasi profesi jurnalis tertua di Indonesia itu. Termasuk saat diamanahi jadi pemegang mandat PWI di Pariaman, Infai yang banyak memberikan argumen.
Tahun 2006 pertengahan, kepengurusan PWI Pariaman habis masa baktinya sejak 2005, tapi konferensi belum juga terlaksana. PWI Sumbar dibawah Ketua Muhammad Muftie Syarfie mengundang seluruh anggota PWI Pariaman.
Saya yang masih anggota muda juga diundang. Bahkan, membawa undangan dari Padang ke Pariaman, saya disuruh Infai, yang saat itu Wakil Ketua Bidang Organisasi. Sayang, dalam rapat itu hanya tiga orang yang datang dari Pariaman.
Pak Nasrun Jon, Pak Amiruddin, dan saya sendiri. Dalam rapat, diputuskan penting ditunjuk seorang pemegang mandat di PWI Pariaman. Rapat memutuskan, saya jadi pemegang mandat, sekaligus jadi ketua panitia konferensi.
Pemegang mandat ditugaskan untuk membentuk kelengkapan panitia, sekaligus menggelar konferensi.
Hampir setiap rapat di Pariaman, Infai selaku Wakil Ketua Bidang Organisasi PWI Sumbar selalu hadir, dan tentunya ingin memastikan konferensi sukses, dan berjalan sebagaimana mestinya.
Sementara, untuk Uji Kompetensi Wartawan (UKW) saya ikut tahun 2013 di Harian Singgalang, lewat Lembaga Pers Doktor Soetomo, dan lulus dengan menyandang prediket Wartawan Muda.
Jadi guru mengaji pun demikian. Hanya saja tekanan tak ada selain dari tanggungjawab moral. Terutama guru mengaji yang ada di perkampungan.
Mereka nyaris tak bergaji. Kalau pun ada honor diberikan, sangat tidak etis. Yang paling mulia itu, adalah hutang moral sebagai orang yang tahu dalam soal agama.
Guru mengaji harus pandai bermasyarakat sehingga mampu hidup dan berkembang sesuai dengan dinamika yang terjadi. Pengalaman saya yang di samping jadi wartawan juga lama menjadi guru mengaji di surau perkampungan Padang Pariaman. Ada banyak surau dan lokasinya yang saya ikut terjun langsung jadi guru mengaji, sekaligus tinggal dan bermukim di surau itu.
Pertama mencoba jadi guru mengaji di Kandis, Provinsi Riau. Di sebuah surau milik sebuah rumah makan tempat pemberhentian bus jalur Dumai-Padang dan Dumai-Pekanbaru. Ngajar ngaji tiap malam, sambil juga menghidupkan surau kecilnya itu dengan azan dan imam shalat setiap kali waktu shalat masuk.
Tahun 1998 itu, oleh pemilik surau yang juga bos rumah makan itu saya dijanjikan honor Rp350 ribu sebulan. Karena banyak waktu kosong dan luang membuat saya tak betah tinggal di situ. Hanya sebulan, saya pamit dan pulang kampung ke Sumbar. Lalu tinggal di kampung sendiri, Surau Ampang Tarok di Ambung Kapur Sungai Sariak.
Di kampung sendiri tak digaji. Hanya pengabdian saya sebagai orang yang pulang mengaji dari pondok pesantren. Tak digaji artinya, terserah kepada tokoh masyarakat. Banyak kegiatan sosial kemasyarakatan membuat saya cukup lama bertahan tinggal di kampung.
Kurang lebih setahun, lalu pindah ke Padang Toboh Ulakan. Tepatnya ke Surau Kampuang Paneh. Di sinilah saya paling lama mengabdi. Lima tahun lamanya tinggal di situ, mengajar anak-anak mengaji, menghidupkan surau itu dari kegiatan keagamaan, sekaligus jadi wartawan.
Dari 2000 hingga 2005 saya tinggal dan mengabdi di Ulakan, dengan honor kadang-kadang ada dikasih dengan jumlah yang segan kita sebutkan. Dan kadang-kadang tak ada honor berbilang bulan lamanya. Tetapi itu bukan soal. Yang penting bagaimana memberikan yang terbaik buat masyarakat dan anak nagari dalam hidup dan kehidupannya, sesuai tuntutan agama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H