Pak Nasrun Jon, Pak Amiruddin, dan saya sendiri. Dalam rapat, diputuskan penting ditunjuk seorang pemegang mandat di PWI Pariaman. Rapat memutuskan, saya jadi pemegang mandat, sekaligus jadi ketua panitia konferensi.
Pemegang mandat ditugaskan untuk membentuk kelengkapan panitia, sekaligus menggelar konferensi.
Hampir setiap rapat di Pariaman, Infai selaku Wakil Ketua Bidang Organisasi PWI Sumbar selalu hadir, dan tentunya ingin memastikan konferensi sukses, dan berjalan sebagaimana mestinya.
Sementara, untuk Uji Kompetensi Wartawan (UKW) saya ikut tahun 2013 di Harian Singgalang, lewat Lembaga Pers Doktor Soetomo, dan lulus dengan menyandang prediket Wartawan Muda.
Jadi guru mengaji pun demikian. Hanya saja tekanan tak ada selain dari tanggungjawab moral. Terutama guru mengaji yang ada di perkampungan.
Mereka nyaris tak bergaji. Kalau pun ada honor diberikan, sangat tidak etis. Yang paling mulia itu, adalah hutang moral sebagai orang yang tahu dalam soal agama.
Guru mengaji harus pandai bermasyarakat sehingga mampu hidup dan berkembang sesuai dengan dinamika yang terjadi. Pengalaman saya yang di samping jadi wartawan juga lama menjadi guru mengaji di surau perkampungan Padang Pariaman. Ada banyak surau dan lokasinya yang saya ikut terjun langsung jadi guru mengaji, sekaligus tinggal dan bermukim di surau itu.
Pertama mencoba jadi guru mengaji di Kandis, Provinsi Riau. Di sebuah surau milik sebuah rumah makan tempat pemberhentian bus jalur Dumai-Padang dan Dumai-Pekanbaru. Ngajar ngaji tiap malam, sambil juga menghidupkan surau kecilnya itu dengan azan dan imam shalat setiap kali waktu shalat masuk.
Tahun 1998 itu, oleh pemilik surau yang juga bos rumah makan itu saya dijanjikan honor Rp350 ribu sebulan. Karena banyak waktu kosong dan luang membuat saya tak betah tinggal di situ. Hanya sebulan, saya pamit dan pulang kampung ke Sumbar. Lalu tinggal di kampung sendiri, Surau Ampang Tarok di Ambung Kapur Sungai Sariak.
Di kampung sendiri tak digaji. Hanya pengabdian saya sebagai orang yang pulang mengaji dari pondok pesantren. Tak digaji artinya, terserah kepada tokoh masyarakat. Banyak kegiatan sosial kemasyarakatan membuat saya cukup lama bertahan tinggal di kampung.