Mohon tunggu...
Damanhuri Ahmad
Damanhuri Ahmad Mohon Tunggu... Penulis - Bekerja dan beramal
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Ada sebuah kutipan yang terkenal dari Yus Arianto dalam bukunya yang berjudul Jurnalis Berkisah. “Jurnalis, bila melakukan pekerjaan dengan semestinya, memanglah penjaga gerbang kebenaran, moralitas, dan suara hati dunia,”. Kutipan tersebut benar-benar menggambarkan bagaimana seharusnya idealisme seorang jurnalis dalam mengamati dan mencatat. Lantas masih adakah seorang jurnalis dengan idealisme demikian?

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Cerita Kerja Jurnalis dan Guru Mengaji yang Nyaris 24 Jam

17 November 2021   07:50 Diperbarui: 22 November 2021   10:52 335
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Memang tak salah, ketika pertama kali ikut Karya Latihan Wartawan (KLW) yang diadakan PWI Sumatera Barat tahun 2003, saya dapat doktrin, bahwa wartawan bukan pekerjaan untuk mencari kaya. Tapi wartawan tak pernah pula mati kelaparan.

Pelajaran dan doktrin di KLW ini lumayan terasa, dan menjadi warna tersendiri dalam perjalanan karir jurnalis saya sampai sekarang.

Dari KLW itu saya belajar investigasi, membuat laporan, menulis feature, dan menyajikan tulisan yang enak dibaca banyak orang. Ada tiga kali KLW yang saya ikuti. KLW sekalian ujian masuk PWI. Dari tiga kali itu, sekali saya tak lulus, sehingga kenaikan status PWI dari anggota muda ke anggota biasa baru terjadi 2006, setelah saya diamanani memegang mandat PWI di Pariaman.

Saya sebut nyaris bekerja 24 jam, banyak di luar jam kerja datang perintah liputan dan konfirmasi ke berbagai sumber berita.

Datang lewat sms. Kalau sekarang lewat wa. Kita di daerah paling sering dapat penugasan itu. Kadang tengah malam. Maklum, redaktur banyak bekerja hingga larut malam.

Mungkin sebagai wartawan paling kecil usia di daerah di antara sekian wartawan Singgalang di Pariaman, saya merasakan paling acap dan sering dapat penugasan. Baik yang lewat Korda maupun penugasan langsung dari Pemred.

Dasar pekerjaan ini sudah jadi kecanduan, semua penugasan itu saya tunaikan dengan baik. Mungkin, ibarat utang terbayar lunas sesuai waktu perjanjian, pimpinan itu jadi candu memberikan tugas ke saya.

Artinya, wartawan memang dituntut mampu dan mau bekerja di bawah tekanan. Ya, tekanan datang dari pimpinan bukan dari pihak lain. Mulai dari Korda yang memimpin organisasi media itu di daerah, redaktur halaman, Redpel, sampai ke pimpinan redaksi dan pimpinan umum.

Hebatnya, tekanan itu terasa bagaikan motivasi untuk terus bekerja dan berbuat sampai betul-betul ada realisasi dari wacana yang kita kembangkan di media tersebut.

Tekanan dan perintah yang sering itu berkurang, saat dunia digitalisasi merambah kehidupan sekarang. Wartawan cenderung berekspresi sendiri, membuat dan melahirkan media secara berkelompok pula, yang dimulai dalam skala kecil.

Tak heran, sekarang banyak lahir media online yang dikembangkan oleh seorang wartawan. Mulai kecil, lama-lama besar sendiri dengan bertambahnya jaringan dan jejaring yang hampir menyungkup daerah-daerah lain di luar pusatnya media itu terbit.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun