Mohon tunggu...
Damanhuri Ahmad
Damanhuri Ahmad Mohon Tunggu... Penulis - Bekerja dan beramal
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Ada sebuah kutipan yang terkenal dari Yus Arianto dalam bukunya yang berjudul Jurnalis Berkisah. “Jurnalis, bila melakukan pekerjaan dengan semestinya, memanglah penjaga gerbang kebenaran, moralitas, dan suara hati dunia,”. Kutipan tersebut benar-benar menggambarkan bagaimana seharusnya idealisme seorang jurnalis dalam mengamati dan mencatat. Lantas masih adakah seorang jurnalis dengan idealisme demikian?

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Setiap Orang Berpotensi Berhadapan dengan Dunia Mistis, Doa dan Ilmu Solusinya

29 Oktober 2021   11:06 Diperbarui: 29 Oktober 2021   13:25 134
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kapal pengangkut batubara di Sungai Musi, lolos dengan baik karena tau laut sati rantau bertuah. (foto dok damanhuri)

Setiap orang punya potensi berhadapan dengan dunia mistis, atau alam gaib di luar logikanya. Hanya cara dan ceritanya yang berbeda antara satu dengan lainnya.

Apalagi masyarakat yang tinggal di perkampungan sepi, sunyi dari hiruk-pikuk klakson dan desiran kendaraan seperti di perkotaan, potensi berhadapan dengan mistisnya amat besar.

Saya mengalami hal demikian. Lahir dan besar di kampung yang tahun 1980 an itu belum masuk listrik, jauh jarak surau tempat mengaji dengan rumah orangtua, ini juga menjadi ketakutan tersendiri, terutama pada saat telat atau terlambat pergi ke surau.

Pulang sekolah gembala ternak, menyabit rumput makanan ternak sekalian. Itu cara hidup mandiri yang diajarkan orangtua ke saya saat masih sekolah dasar.

Sambil sekolah pun jualan. Masuk 07.30, sebelumnya keliling kampung menjual makanan, yang upahnya buat buat belanja di sekolah. Jualan itu ibu yang membuatnya Subuh-Subuh.

Tempat ngaji saya ada tiga surau kala itu. Ada namanya Surau Koto Runciang, terletak di kampung sebelah, ada sekitar lima kilometer dari rumah. Tapi tanahnya mendaki bukit dan menurun lurah yang terjal.

Berangkat ngaji senja. Sebab, jadwal ngaji malam, sambil sekalian bermalam di surau itu. Untungnya, guru mengajarkan, bahwa percaya kepada yang gaib bagian dari iman.

Koto Runciang itu dari Ambung Kapur, kampung kelahiran saya letaknya jauh di bawah jurang. Tinggi pendakian yang harus di tempuh, ketika pulang mengaji paginya, luar biasa menguras energi.

Pulang mengaji pagi, ada saja yang dibawa pulang ke rumah. Kalau tak pasir yang dijujung di kepala dengan baskom, batu kali untuk membuat rumah permanen, yang saat itu orangtua saya berkeluarga masih menggunakan rumah kayu.

Bermacam-macam godaan ketika tiba di lurah yang sunyi itu. Apalagi kalau jalan sendiri, terasa sekali bulu kuduk ini berdiri, kaki berat di langkahkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun