Setiap orang punya potensi berhadapan dengan dunia mistis, atau alam gaib di luar logikanya. Hanya cara dan ceritanya yang berbeda antara satu dengan lainnya.
Apalagi masyarakat yang tinggal di perkampungan sepi, sunyi dari hiruk-pikuk klakson dan desiran kendaraan seperti di perkotaan, potensi berhadapan dengan mistisnya amat besar.
Saya mengalami hal demikian. Lahir dan besar di kampung yang tahun 1980 an itu belum masuk listrik, jauh jarak surau tempat mengaji dengan rumah orangtua, ini juga menjadi ketakutan tersendiri, terutama pada saat telat atau terlambat pergi ke surau.
Pulang sekolah gembala ternak, menyabit rumput makanan ternak sekalian. Itu cara hidup mandiri yang diajarkan orangtua ke saya saat masih sekolah dasar.
Sambil sekolah pun jualan. Masuk 07.30, sebelumnya keliling kampung menjual makanan, yang upahnya buat buat belanja di sekolah. Jualan itu ibu yang membuatnya Subuh-Subuh.
Tempat ngaji saya ada tiga surau kala itu. Ada namanya Surau Koto Runciang, terletak di kampung sebelah, ada sekitar lima kilometer dari rumah. Tapi tanahnya mendaki bukit dan menurun lurah yang terjal.
Berangkat ngaji senja. Sebab, jadwal ngaji malam, sambil sekalian bermalam di surau itu. Untungnya, guru mengajarkan, bahwa percaya kepada yang gaib bagian dari iman.
Koto Runciang itu dari Ambung Kapur, kampung kelahiran saya letaknya jauh di bawah jurang. Tinggi pendakian yang harus di tempuh, ketika pulang mengaji paginya, luar biasa menguras energi.
Pulang mengaji pagi, ada saja yang dibawa pulang ke rumah. Kalau tak pasir yang dijujung di kepala dengan baskom, batu kali untuk membuat rumah permanen, yang saat itu orangtua saya berkeluarga masih menggunakan rumah kayu.
Bermacam-macam godaan ketika tiba di lurah yang sunyi itu. Apalagi kalau jalan sendiri, terasa sekali bulu kuduk ini berdiri, kaki berat di langkahkan.