Mohon tunggu...
Damanhuri Ahmad
Damanhuri Ahmad Mohon Tunggu... Penulis - Bekerja dan beramal
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Ada sebuah kutipan yang terkenal dari Yus Arianto dalam bukunya yang berjudul Jurnalis Berkisah. “Jurnalis, bila melakukan pekerjaan dengan semestinya, memanglah penjaga gerbang kebenaran, moralitas, dan suara hati dunia,”. Kutipan tersebut benar-benar menggambarkan bagaimana seharusnya idealisme seorang jurnalis dalam mengamati dan mencatat. Lantas masih adakah seorang jurnalis dengan idealisme demikian?

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

"Membantai Adat", Warisan Tradisi Lebaran di Tengah Masyarakat

13 Mei 2021   18:04 Diperbarui: 13 Mei 2021   20:16 1626
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pembagian daging bantai adat di Tembok, Nagari Sintuak, Kabupaten Padang Pariaman, Kamis. Di Surau Tembok Shalat Id-nya rencana Jumat. (foto dok wag korong tembok)

Kebanyakan orang kampung merasakan enaknya daging yang kerbaunya disembelih di surau. Tak heran, menyembelih kerbau jelang lebaran Idul Fitri sudah jadi tradisi oleh sebagian besar masyarakat Kabupaten Padang Pariaman, Sumatera Barat.

Di Tembok, Nagari Sintuak lazim menyembelih seekor kerbau tiap tahun. Mereka membantai namanya, itu sehari jelang lebaran.

Seluruh kepala keluarga yang ada di korong beriur untuk bisa membeli seekor kerbau. Iurannya bervariasi. Tergantung banyaknya kebutuhan daging satu keluarga itu saat lebaran.

Saat puasa, pengurus surau telah menaksir harga kerbau, dan menentukan jumlah umpuk atau onggok. Seonggok daging dihargai Rp130 ribu. Seonggok itu beratnya sekilo lebih.

Masing-masing keluarga ada yang mengambil tiga, empat atau dua onggok saja. Kerbau itu didatangkan pas saat akan disembelih, setelah dibeli pada pakan terakhir puasa di pasar ternak yang ada di nagari terdekat.

Lain korong lain pula cara membantai adatnya. Kalau korongnya besar, banyak pula penduduk bisa jadi dua sampai tiga ekor kerbau yang disembelihnya.

Seperti yang berlaku di Nagari Ulakan. Di situ membantai setelah selesai Shalat Id. Pengurus surau langsung membawa kerbau atau sapi yang akan disembelih itu ke satu tempat, namanya tanah pakudoan di Kampuang Galapuang. Di sana seluruh surau melakukan penyembelihan yang disebut dengan membantai adat tersebut.

Yang menyembelih langsung orang Siak, seperti tuanku, labai, atau imam khatib yang ada dalam korong terkait.

Saat membantai adat itu tanah pakudoan Kampuang Galapuang laksana pasar rakyat. Ramai. Banyak orang menggelar dagangan di sepanjang jalan menuju lokasi dan di lokasi tanah pakudoan itu sendiri.

Tanak pakudoan itu adalah gawenya niniak mamak atau raja yang ada di seluruh ulayat Ulakan. Para niniak mamak inilah yang menentukan, berapa uang adat yang harus dikeluarkan untuk seekor kerbau.

Kerbau yang disembelih itu dikerjakan secara bersama-sama. Atau beberapa orang saja, dengan cara yang mengerjakan dapat bagian onggok sebagai hadiah jerih payahnya bekerja.

"Mungkin menyembelihnya pakai doa, sehingga dagingnya enak ketika sudah dimasak," cerita seorang ibu rumah tangga di Ulakan.

Lazimnya, separoh puasa, masyarakat musyawarah di surau, memutuskan berapa harusnya kerbau dibeli. Berapa pula onggok daging tahun ini.

Lalu, pada malam sajadah atau 27 Ramadan, yang memesan onggok daging sudah membayar uangnya. Sebab, kerbau sudah dipesan, tapi uangnya belum lunas.

Lunasnya uang beli kerbau, pada saat akan disembelih. Tentunya semua keluarga yang memesan onggok daging lunas pula iurannya.

Seorang yang menyandang gelar niniak mamak biasanya membeli banyak onggok. Di samping untuk anak istrinya, onggokan itu juga dibagi-bagikanya untuk dunsanak dan kemenakannya.

Mamak badagiang taba, kemanakan bapisau tajam. Artinya, mamak punya tanggungjawab moral untuk membelikan kemenakannya onggok daging saat lebaran. Karena mamak orang mengatur lalu lintas hasil pusako berupa sawah dan ladang.

Malin Manangguang, soerang tokoh rantau Punggung Kasiak Lubuk Alung menilai, tradisi membantai di hari raya, perlu di galakkan lagi agar tidak habis digerus oleh zaman yang serba komersial.  

"Tradisi membantai adat adalah sebuah tradisi urang awak dalam menjalin kebersamaan dan rasa sekampuang serta mempererat rasa berdunsanak," kata dia.

Menurut Malin, pola yang mereka mainkan dengan cara beriuran satu dengan lainya, yang pada akhirnya terkumpul dana seharga satu ekor kerbau, adalah budaya menumbuhkan semangat gotong royong.

"Biasa harga onggokan itu berpatokan pada timbangan daging, tulang limpa dan jeroan lain hanya sebagai tambahan dan dibagi buat para pekerja dan warga yang tidak ikut beriuran," sebut Malin.

Malam setelah mambantai adat, ujar dia, biasanya diikuti oleh acara ratik patang membantai di surau-surau kayu.

Tentu tradisi membantai adat dan ratik patang membantai perlu dihidupkan secara terus menerus dan menjadi budaya yang kuat, sehingga tidak lapuk kena hujan dan tidak lekang kena panas.

Intinya, membantai adat adalah menguatkan peran niniak mamak di tengah sanak kemenakannya. Lelaki di Minangkabau tidak saja fokus pada anak dan istrinya, tapi juga punya beban moral terhadap sanak kemenakan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun