"Mungkin menyembelihnya pakai doa, sehingga dagingnya enak ketika sudah dimasak," cerita seorang ibu rumah tangga di Ulakan.
Lazimnya, separoh puasa, masyarakat musyawarah di surau, memutuskan berapa harusnya kerbau dibeli. Berapa pula onggok daging tahun ini.
Lalu, pada malam sajadah atau 27 Ramadan, yang memesan onggok daging sudah membayar uangnya. Sebab, kerbau sudah dipesan, tapi uangnya belum lunas.
Lunasnya uang beli kerbau, pada saat akan disembelih. Tentunya semua keluarga yang memesan onggok daging lunas pula iurannya.
Seorang yang menyandang gelar niniak mamak biasanya membeli banyak onggok. Di samping untuk anak istrinya, onggokan itu juga dibagi-bagikanya untuk dunsanak dan kemenakannya.
Mamak badagiang taba, kemanakan bapisau tajam. Artinya, mamak punya tanggungjawab moral untuk membelikan kemenakannya onggok daging saat lebaran. Karena mamak orang mengatur lalu lintas hasil pusako berupa sawah dan ladang.
Malin Manangguang, soerang tokoh rantau Punggung Kasiak Lubuk Alung menilai, tradisi membantai di hari raya, perlu di galakkan lagi agar tidak habis digerus oleh zaman yang serba komersial.
"Tradisi membantai adat adalah sebuah tradisi urang awak dalam menjalin kebersamaan dan rasa sekampuang serta mempererat rasa berdunsanak," kata dia.
Menurut Malin, pola yang mereka mainkan dengan cara beriuran satu dengan lainya, yang pada akhirnya terkumpul dana seharga satu ekor kerbau, adalah budaya menumbuhkan semangat gotong royong.
"Biasa harga onggokan itu berpatokan pada timbangan daging, tulang limpa dan jeroan lain hanya sebagai tambahan dan dibagi buat para pekerja dan warga yang tidak ikut beriuran," sebut Malin.
Malam setelah mambantai adat, ujar dia, biasanya diikuti oleh acara ratik patang membantai di surau-surau kayu.