Masyarakat Kabupaten Padang Pariaman sudah terbiasa dengan perbedaan. Perbedaan mengawali puasa, terjadi tiga angkatan. Pertama yang melakukan puasa yang mempedomani keputusan Muhammadiyah dan pemerintah yang puasa mulai Selasa.
Kedua dan ketiga, kelompok Syathariyah yang melakukan puasa mulai Rabu dan Kamis, sehari dan hari setelah kelompok pertama berpuasa tahun ini.
Namun, ketika Idul Fitri, Kamis (13/5/2021) yang puasa Rabu sama Shalat Id nya dengan yang puasa Selasa. Otomatis, mereka puasa 29 hari, kelompok mayoritas puasanya genap 30 hari.
Lalu, yang puasa Kamis, belum Idul Fitri. Mereka Kamis ini melihat hilal. Kalau tampak, mereka berhari raya, Jumat. Tetapi kalau tak tampak hilal, mereka wajib menggenapkan puasanya 30 hari, dan Sabtu langsung Shalat Id.
Tentu perbedaan semacam itu tidak terjadi sekali ini saja. Melainkan hampir tiap Ramadan, selalu ada perbedaan. Mulai puasa sudah dipastikan selalu bertikai, tapi di hari raya kadang-kadang ada yang bersamaan harinya.
Perbedaan terjadi, karena berbeda cara pandang dan cara menyikapi hitungan atau hisab sebelum rukyatul hilal itu sendiri.
Semuanya, baik yang dulu maupun yang kemudian, hanya Tuhan yang lebih tahu mana yang betul dan mana pula yang salah dalam hal ini. Yang jelas, perbedaan itu tidak menjadi ajang pertengkaran di tengah masyarakat.
Perbedaan sudah dijadikan dinamika, dan berlaku sejak lama. Tak mungkin lagi untuk di satukan. Demikian itu agaknya semacam kekuatan di tengah masyarakat.
Begitu pula perbedaan Shalat Tarawih di masjid dan surau. Banyak yang 11 rakaat dengan empat-empat tiga, atau yang dua-dua dan tiga, tapi 11 rakaat juga.
Yang 23 rakat dengan cepat-cepat juga masih ada di daerah ini. Tentu perbedaan demikian juga rahmat dan berkah Ramadan untuk masyarakat Padang Pariaman itu sendiri.
Berbeda cara dan jalan, namun tujuan dan substansinya sama. Sama-sama menjalankan perintah agama, mencari taqwa. Puasa juga bagian dari perjuangan mengendalikan akal dan nafsu.
Puasa juga melahirkan kesalehan sosial. Puasa yang mengajarkan kita peduli terhadap sesama, puasa yang membiasakan kita rajin beribadah, banyak beramal.
Puasa membentuk hamba jadi tawaduk, rendah diri dengan tidah merendahkan, qanaah, merasa cukup dengan apa yang Tuhan berikan kepada kita.
Silaturahmi yang banyak terbangun di bulan puasa, tentunya diaktualisasikan pasca Ramadan ini.
Namun, puasa kali ini sedikit berbeda dari cara membangun silaturahmi. Covid memisahkan. Virus ini menuntut kita saling menjaga jarak. Kalau mungkin dan memungkinan, ya di rumah saja.
Seperti Bupati Suhatri Bur yang shalat Id di kediamannya bersama keluarga dan pengawalnya. Tuntutan covid untuk menghindari kerumunan orang banyak, dan juga upaya memutus pandemi yang masih marak saat ini.
Mari kita jadi perbedaan kilafiyah ini sebagai ajang pemersatu umat. Tak perlu ada cacian atau olok-olokan. Yang ada saling menghargai, sehingga perbedaan menjadi tempat datangnya rahmat Tuhan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H