Asy Syeikh Ahmad asy Syarbashi, salah seorang syeikh di Universitas al Azhar didalam bukunya "Mereka Bertanya Kepada Anda" menulis, “Hukum mendengar suara penyanyi perempuan bergantung keadaan suaranya. Apabila suaranya digetarkan dan dapat membangkitkan syahwat maka hal itu haram, diharamkan mendengarkannya”. Selain itu, kekhawatiran akan adanya fitnah akibat nyanyian juga dapat menjadi dasar pelarangan. Syeikh as-Shobuni berpendapat : sebaiknya kaum lelaki mencegah perempuan2 dari melakukan perkara yg membangkitkan fitnah dan tipu daya seperti memakai pakaian sempit, meninggikan suara, dan memakai wangi-wangian.
Ala kulli hal, pendapat-pendapat tersebut dapat kita pertemukan di satu titik yaitu nyanyian perempuan dapat jatuh kepada keharaman jika memang di dalamnya mengandung keharaman, karena pada asalnya suara perempuan itu sendiri bukanlah aurat.
Lirik yang mungkar dan mengajak maksiat menjadikan nanyian menjadi haram. Pakaian yang mengumbar aurat atau suara yang mendayu nan menggoda menjadikan nyanyian itu tidak boleh disimak. Sebaliknya, jika liriknya mengajak kepada kebaikan, mengingat Allah, suaranya wajar tidak mendayu, apalagi menyemangati jihad dan si penyanyi berpakaian syar’i serta tidak menggoyangkan tubuhnya untuk menarik perhatian lawan jenis, maka nyanyian tersebut menjadi boleh.
Persoalan Ikhtilat
Disamping permalasahan suara, pakaian dan lirik lagu, hendaknya kita tidak melupakan fakta sebenarnya dari pertunjukan-pertunjukan lagu pada hari ini, yaitu fakta konser musik yang di dalamnya ada sekumpulan penonton yang berkumpul di waktu dan tempat yang sama.
Dalam Islam, bercampur baurnya laki-laki dan perempuan dalam waktu dan tempat yang sama disebut ikhtilat. Para ulama mengharamkan ikhtilat ini, kecuali yang dibolehkan oleh syara’. Kebolehan tersebut jika kita teliti lebih karena kedaruratannya, dalam arti urgensi adanya pertemuan antara laki-laki dan perempuan yang sulit dihindari, misalnya dalam jual beli di pasar, di aktivitas pendidikan, pengadilan dan pengobatan.
Taqiyuddin an Nabhani menulis, “Adapun dalam kehidupan umum, hukum asalnya adalah terpisah dan tidak boleh ada interaksi antara pria dan perempuan. Kecuali pada perkara-perkara yang telah dibolehkan syariah, di mana syariah telah membolehkan, atau mewajibkan, atau menyunnahkan suatu aktivitas untuk perempuan; serta pelaksanannya menuntut adanya interaksi dengan pria. Baik interaksi ini terjadi dengan tetap adanya pemisahan, seperti di dalam masjid, atau dengan adanya ikhtilâth (campur-baur), sebagaimana dalam aktivitas ibadah haji atau jual-beli.” (Sistem Pergaulan dalam Islam, hal. 55)
Sedang dalam hal menyimak lagu atau menonton, tidak kita temukan rukhsah satu pun untuk berikhtilat. Semestinya ini membuat kita berhati-hati dalam menyikapi fakta pertunjukkan musik, konser, kontes dan sebagainya. Jika faktor pakaian, penyanyi, suara, lirik dan ikhtilat menentukan penilaian kita terhadap acara kontes musik, maka “kebolehan bernyanyi asalkan pakaiannya syar’i” akan tampak pincang jika pada saat yang sama ia bernyanyi di hadapan orang-orang yang berikhtilat.
Belum lagi jika kita tengok lirik lagunya, apakah ia mencerminkan ajakan kepada kebaikan? Padahal dalam acara-acara tersebut sudah dianggap biasa jika sang penyanyi membawakan lagu-lagu yang, bukannya berlirik mengingat Allah atau menyemangati ibadah dan amal sholeh, justru malah membawakan lagu-lagu dari Barat.
Satu lagi, faktor suara : betapa sulitnya kita menemukan kontes yang memenangkan kontestan perempuan dengan suara datar dan tidak menarik perhatian. Justru sebaliknya, kemenangan ditentukan oleh penilaian juri terhadap ‘keindahan’ suara si kontestan. Nah, jika keindahan suara itu dinilai, dinikmati oleh juri dan penonton yang notabene banyak yang bukan mahram, justru saat itulah fitnah yang dikhawatirkan oleh para ulama.
Mencermati fakta yang ada, tentu akan sangat sulit bagi kita memberi justifikasi syar’i dari keikutsertaan seorang muslim/muslimah dalam kontes-kontes musik di acara-acara televisi hari ini. Barangkali, hanya dalam kontes nasyid yang diselenggarakan oleh event organizer yang cukup memahami syariah untuk menyeleksi pakaian dan lirik yang dibawakan kontestan serta memisahkan tempat duduk perempuan dan laki-laki, maka justifikasi syar’i itu akan mudah diberikan. Namun, tentu konser-konser semacam itu tidak laku dijual di publik alias tidak bernilai komersil.