"Selamat datang di Kota Nikompolis. Mari masuk." Suara itu berasal dari drone capung. Qinan dan Yudha saling pandang. Yudha yang paling antusias dengan kecanggihan teknologi itu langsung ikut saja.
Selama mengikuti drone capung itu, mereka disajikan pemandangan yang menakjubkan. Selain benda-benda terbang, ada juga robot yang sedang diuji kelayakannya untuk merawat lansia. Tubuh robot itu sudah ramping, selayaknya perawat sungguhan yang ada di rumah sakit. Berbeda dengan perawat yang terakhir kali Qinan lihat di salah satu rumah sakit. Dulu, Qinan dirwat oleh robot perawat namun peran robot hanya sebegai pembantu perawat saja. berbeda dengan robot yang dia lihat saat ini. Bentuk robot itu sudah di modif sedemikian rupa, serta sudah memiliki standart keperawatan. Bisa dilihat dari sertifikat kecil yang tertempel di punggung robot itu.
"Gila! Makin banyak profesi yang dijajah oleh robot," Yudha bergumam pelan.
Qinan mengangguk, meng-iyakan. Beitulah dampak dari kemajuan teknologi. Rata-rata penikmat kemajuannya hanya kalangan menengah ke atas saja. sedangkan masyarakat kalangan bawah, dari segi pangan hingga pekerjaan, mereka akan terus terancam. Contohnya makanan kubus yang tadi mereka makan. Meski hanya klik-klik, makanan yang mereka keluarkan hampir menguras separuh debit yang tersimpan di gelang Qinan. Makanan kubus yang bisa di custom itu dihargai sangat mahal.
Qinan membayakan suatu masa, ketika bumi sudah kembali di keadaan semula, mereka bisa dengan bebas menanam dan mencari makanan utuh lagi. tak ada lagi orang yang kelaparan akibat mahalnya harga suatu pangan. Untuk masa-masa itulah semangatnya terus berkobar.
Drone capung itu membawa mereka ke satu ruangan serba putih. Tak lama, ada seorang pria tua yang datang menghampiri mereka. Wajahnya tampak familiar bagi Qinan, tapi ia lupa pernah melihat pria itu di mana. Pria itu tersenyum, menyalami mereka berdua dan mengenalkan dirinya sebagai Alex. Salah satu insinyur senior dan ilmuwan di kampus ini. Dengan kata lain, Alex adalah salah satu dari pencipta robot-robot itu.
"Selamat datang, pasti kalian datang dari kota jauh, silahkan duduk," ujar Alex, kakinya mengetuk lantai yang kemudian mengeluarkan satu set meja dan kursi, lengkap dengan cemilan dan minuman di atas mejanya.
Melihat itu, Yudha berdecak kagum, Qinan pura-pura untuk terkejut. Dia tahu, jika kedatangan mereka akan menjadi tumbal pertama bagi mereka. Tidak satu atau dua kali dirinya akan disuguhi pemandangan yang hampir sama. Menjadi korban pamer para pencetus. Â Qinan tidak membenci mereka hanya karena menciptkan alat-alat canggih. Namun, dari sudut pandang Qinan mereka sudah berada di ambang serakah. Ketamakan, ketidakpuasan mereka lah yang menjadi siksaan bagi bumi.
Mereka menciptakaan robot capung, karena menurut mereka spesies capung telah punah. Tapi mereka lupa, siapa yang membuat spesies itu tak ada lagi. dari semua penelitian, hingga pengadaan teknplogi canggih merekalah yang membuat capung punah. Udara tak lagi aman bagi capung untuk terbang, lantas menjadi semakin ganas dan membinasakan mereka.
Alex seperti anak kecil yang sedang paer denagn mainannya. Pria itu lantas berpindah untuk mengetuk sisi lain, bersama dengan desingan suara, sebuah bioskop kecil muncul dari sana. Belum selesai dari sana, dia mengetuk dinding, lalu keluarlah sebuah perapian dan sebelahnya ada jendela yang menampakan cuaca di luar sana. Hujan salju terlihat dari bingkai jendela itu. Hanya Yudha yang tampak antusias dengan semuanya. Qinan hanya tersenyum hambar. Semua teknologi itu, amat sangat mengagumkan, tetapi juga mengacaukan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H