Mohon tunggu...
mohammad mustain
mohammad mustain Mohon Tunggu... penulis bebas -

Memotret dan menulis itu panggilan hati. Kalau tak ada panggilan, ya melihat dan membaca saja.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

OTT KPK, Kasus Novel, dan Jokowi

15 Maret 2019   16:29 Diperbarui: 15 Maret 2019   17:15 321
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)  itu bekerja secara independen, tidak dibawahkan presiden atau DPR, atau lembaga lain. Kalau ada yang mengaitkan operasi tangkap tangan (OTT)  KPK dengan presiden, baik dalam pengertian positif atau pun negatif itu terlalu mengada-ada.

Jadi dalam menilai kinerja KPK termasuk OTT yang dilakukan, seharusnya menggunakan ukuran yang terkait langsung dengan KPK dan para personelnya. 

Misalnya, ada yang mencoba menilai OTT KPK dari sudut pandang pragmatisme politik, tentu lebih pas menggunakan faktor-faktor yang bisa membuat personel KPK terpapar virus kepentingan politis. Jadi ukurannya adalah KPK itu sendiri.

Paska tertangkapnya Ketua Umum PPP Romahurmuziy dalam OTT KPK di sebuah tempat di Sidoarjo pagi tadi, banyak bermunculan pendapat baik positif maupun negatif yang mengkaitkannya dengan Presiden Jokowi. Misalnya, OTT itu membuktikan Jokowi adil dan tegas daripada lawan politiknya yang bicara "korupsinya nggak seberapa".

Pendapat seperti itu bisa disebut sesat pikir. Jokowi sama sekali tidak ada hubungannya dengan OTT KPK. Jokowi tidak bisa memerintahkan atau melarang KPK untuk melakukan OTT. Kalau OTT KPK terhadap ketum PPP disebut membuktikan bahwa KPK mandiri dan Jokowi tidak mau mengintervensi meski yang terkena OTT itu sekutu politiknya yang cukup dekat, itu masih wajar dan logis. Artinya, meski punya hubungan dekat dengan presiden, kalau korupsi ya tetap di-OTT KPK.

Pandangan seperti itu sebenarnya hanyalah pengulangan kasus-kasus hukum yang pernah menimpa orang-orang yang punya hubungan dekat dengan Presiden Jokowi. Ahok dengan kasus hukumnya yang penuh kontroversial itu barangkali contoh konkret bagaimana teguhnya sikap Jokowi untuk tidak mau mengintervensi persoalan hukum.

Terkait KPK, beberapa orang yang pernah dekat dengan Jokowi juga jadi sasaran operasi KPK. Tidak pernah ada jaminan perlindungan atas jerat hukum KPK keluar dari mulut Jokowi. Jadi, hubungan baik dengan Jokowi tidak mengubah apa pun yang terkait dengan pelanggaran hukum. Dengan pandangan ini, Anda boleh tersenyum kalau melihat aksi orang semacam Bahar Smith dan sejenisnya.

Ada juga yang mengkaitkan persoalan OTT KPK itu dengan Jokowi dalam pengertian negatif. Misalnya, OTT itu  bisa saja membuktikan Romi mengumpulkan dana untuk kampanye pilpres Jokowi. Alasannya, ketum PPP yang terkena OTT KPK itu adalah tim sukses Jokowi. Kalau yang ini, sudah mengarah ke tuduhan yang serius. Hal ini sempat disuarakan Waketum Partai Gerindra Arif Puyuono.

Hingga saat ini, belum ada penjelasan resmi terkait OTT KPK itu secara detail. Hal seperti yang dituduhkan itu jelas tidak berdasar. Masih perlu waktu lama untuk proses pemeriksaan, penyidikan, penuntutan di persidangan, hingga keputusan majelis hakim untuk memperoleh kepastian seputar kasus itu.

Saya tidak hendak membicarakan tuduhan seperti yang dilontarkan Waketum Partai Gerindra itu. Hal Itu terlalu sarat kepentingan politik dan bisa berujung pelaporan ke polisi seandainya kubu TKN Jokowi tidak terima dan bisa membuktikan kengawuran tuduhan itu.

Menurut saya, yang lebih penting disoroti dalam kasus OTT KPK kali ini adalah independensi KPK yang tetap kuat di tengah persaingan politik kekuasaan yang makin panas sekarang ini. Hal ini juga sekaligus membuktikan bahwa pemerintahan Jokowi sama sekali tidak mengintervensi penegakan hukum yang dilakukan KPK.

Bisa saja ada pendapat OTT KPK itu bermuatan politik karena menyasar salah satu kubu yang sedang bertarung di pilpres. Kalau melihat rekam jejak KPK selama ini, yang menunjukkan hampir semua parpol punya wakil yang jadi pesakitan KPK, pendapat itu terbantahkan.

Meskipun begitu, jika tetap ada yang meragukan "sikap adil" KPK dalam melakukan penindakan hukum, yang didasari penilaian bahwa personel yang ada di KPK punya kepentingan "politik" tersendiri, terkait OTT yang mereka lakukan, silakan saja. Sebagai manusia biasa, kepentingan "politik" kelompok atau perseorangan bisa saja ada. Namun, kerja KPK bukanlah atas dasar selera orang per orang yang duduk di sana.

Kecurigaan adanya kepentingan "politik" semacam itu sangat mungkin muncul dari permasalahan yang terjadi di tubuh KPK dan aksi teror yang menimpa personel KPK. Sebut saja kasus Novel Baswedan petugas KPK yang disiram air keras, 11 Maret 2017, yang membuat matanya cidera serius itu. Kasus yang sempat disebut melibatkan jenderal polisi itu tidak tuntas tertangani hingga kini.

Kejadian semacam itu bisa saja menimbulkan solidaritas korps yang kuat. Hal ini sudah terungkap ke permukaan misalnya berujud aksi demo menuntut penuntasan kasus itu. Jika kasus seperti itu tidak juga tuntas, dan sang dalang penyiraman air keras masih aman-aman saja, tentu bisa menimbulkan sakit hati pada Novel Baswedan dan kelompoknya.

Pada akhirnya sakit hati semacam itu memang bisa saja mempengaruhi fokus kerja penegakan hukum yang mereka emban. Misalnya, karena sang dalang itu dinilai berada di kubu Jokowi, sementara Jokowi tidak mau ikut campur persoalan itu, muncullah sikap balas dendam dengan menjadikan kelompok Jokowi sebagai sasaran tembak penegakan hukum mereka, sebagai pelampiasan.

Dengan kata lain, sikap seperti itu menjadikan orang di sekitar Jokowi lebih rentan dipelototi oleh mata dan telinga aparat KPK. Karena itulah, Ketum PPP dengan cepat terendus OTT KPK.  Artinya lagi, tidak ada kata aman untuk mereka kalau berani coba-coba. Artinya lagi, sakit hati itu menjadikan aksi KPK tidak lagi netral kepentingan.

Benarkah hal semacam itu telah terjadi pada korps KPK? Saya tidak mau berandai-andai. Dari segi upaya pemberantasan korupsi, apa yang dilakukan KPK itu adalah sebuah kerja profesional. Soal sasaran kerja profesional itu, tentunya institusi KPK punya aturan tersendiri. 

Bahwa kini, di musim pilpres ini, ada kolega Jokowi yang di-OTT, itu karena ada tindakan yang dinilai melanggar hukum.
Kalau pun tetap curiga bahwa KPK lebih fokus memelototi orang-orang di sekitar Jokowi, seharusnya itu bisa jadi peringatan agar tidak Korupsi. 

Dengan begitu, meskipun benar kecurigaan kerja profesional KPK terpengaruh secara psikologis akibat kasus Novel itu, orang-orang yang saat berada di barisan Jokowi etap aman-aman saja.

Jadi, jangan korupsi. Jangan jadi korban Jum'at Keramat KPK

Salam waras saja

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun