Mohon tunggu...
mohammad mustain
mohammad mustain Mohon Tunggu... penulis bebas -

Memotret dan menulis itu panggilan hati. Kalau tak ada panggilan, ya melihat dan membaca saja.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Pilpres dan Perburuan Harta Gelap WNI

4 Maret 2019   11:06 Diperbarui: 4 Maret 2019   11:25 158
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di tengah hiruk pikuk pilpres dengan segala kebaperan, kelebayan, kecemenan, fitnah, dan hoax, ada gerilya sunyi memburu harta gelap WNI di luar negeri. Inilah langkah yang akan ikut menentukan wajah perekonomian Indonesia. Secara langsung, hal ini tidak terkait pilpres. Namun sasaran dan hasilnya bisa membuat orang stres, termasuk mereka yang ada di garis belakang pilpres.

Harta gelap WNI bisa dianggap topik yang membuat orang penasaran. Penasaran karena warga negeri ini sudah begitu lama diberi asupan isu tentang pelarian harta kekayaan para elit kaya ke luar negeri mulai tahun 1996 hingga menjelang kejatuhan pemerintahan Presiden Soeharto. Itu masih ditambah lagi dengan pelarian harta hasil pesta pora kekayaan alam Indonesia paska reformasi.

Kita juga diberi asupan asa bahwa harta itu akan bisa ditarik kembali ke Indonesia. Sementara para koruptor yang kabur dengan harta jarahannya bisa ditangkap dan diproses hukum. Tetapi itu bukan kerja biasa yang cepat membuahkan hasil. Kenyataan menunjukkan sejak era Presiden Habibie hingga saat ini, perburuan masih berlanjut dan sering diwarnai jeda bertahun-tahun dan SP3. Hasilnya, harta itu masih misteri.

Karena itu tidak mengherankan jika kerja sama pemerintah Indonesia dan Swiss di bidang hukum yakni perjanjian Mutual Legal Assistance (MLA) mendapat banyak sorotan dan seperti memberi harapan baru. Sebenarnya ini perjanjian dengan negara kesepuluh, namun karena Swiss selama ini dikenal sebagai negara paling ketat menjaga kerahasian perbankannya, dan orang Indonesia sering disebut punya banyak simpanan di negeri itu, perjanjian MLA itu menjadi sangat menarik.

Presiden Soeharto pernah disebut mentransfer uang senilai 9 miliar dolar Amerika dari Swiss ke Austria menjelang kejatuhannya. Dan, sejak itu perburuan harta Pak Harto dilakukan pemerintah namun tidak juga membawa hasil. Kini Swiss mungkin sudah punya banyak saingan sebagai negara save heaven. Namun, MLA itu tetap memberikan harapan karena bersifat retroaktif.

Dalam konteks kekinian, MLA ini dapat digunakan untuk memerangi kejahatan di bidang perpajakan. Warga negara atau badan hukum Indonesia dipaksa mematuhi peraturan perpajakan Indonesia dan tidak menggelapkan pajak. Tetapi  perjanjian itu juga menganut prinsip retroaktif, yang memungkinkan untuk menjangkau tindak pidana yang telah dilakukan sebelum berlakunya perjanjian sepanjang putusan pengadilannya belum dilaksanakan. 

Persoalan pelarian kekayaan ke luar negeri dan situasi politik saat ini, walaupun terlihat berdiri pada dua sisi yang berbeda namun terasa muskil untuk dipisahkan. Dengan dasar asumsi inilah, isu perburuan harta gelap WNI di luar negeri sering dibawa ke ranah politik. Hal itu memang terasa cocok jika dilihat dari pihak yang terlibat dalam pilpres dan jargon yang diusungnya, misalnya "sik kepenak jamanku to".

Ada sebuah "rumus" yang saya buat dan saya nikmati sendiri untuk memahami serpihan peristiwa politik akhir-akhir ini. Salah satunya adalah, jika ada seorang tokoh yang suka ribut dengan kata utang, bisa diartikan tokoh tersebut punya persoalan keuangan, utang, atau mungkin Sri Mulyani menkeu kita sedang menginvestigasi persembunyian hartanya.

Misalnya, ada tokoh yang suka mengkritik atau bahkan menghujat dengan persoalan utang, saya tinggal lihat "riwayat" dia dalam persoalan ini. Ooo... ternyata tokoh tersebut tidak sukses usahanya dan terlilit utang. Ooo... ternyata dia tidak taat bayar pajak dan suka menyembunyikan harta kekayaan di negara surga pajak agar tidak terlacak. Ooo... persembunyian kekayaannya sedang diinvestigasi negara, dst.

Itu hanya salah satu cara untuk memahami lemparan isu, tuduhan tak berdasar, atau hoax yang dilakukan seorang tokoh politik.

Pada banyak kasus akhir-akhir ini, banyak pernyataan dari orang atau sekelompok orang yang harus dipahami sebagai pantulan realitas dari orang atau sekelompok orang tadi. Misalnya mereka bilang "kamu antek asing" bisa dipahami sebagai "dia antek asing". Kita bisa memahami hal itu sebagai pantulan cermin. Tetapi, dalam bahasa kasar hal itu biasa disebut "jurus copet/maling teriak copet/maling".

Rumus sederhana dan pantulan cermin tadi ternyata memang bisa membantu memahami isu politik yang menggunakan berbagai topik ekonomi termasuk persoalan utang dan pajak. Dengan rumus sederhana itu juga, saya bisa lebih memahami pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani:

"Sekarang sudah amnesti "Bu, jangan dikejar-kejar!" oh saya nggak ngejar. Kan kalau sudah amnesti bapak atau ibu sudah jujur. "Tapi ibu masih nyari-nyari" berarti masih ada yang disembunyikan?" [1]

Itu adalah pernyataan menkeu kita, dalam acara Kadin Entrepreneurship Forum 2019 di Hotel Shangri-La, Jakarta pada Rabu 27 Januari 2 2019. Jadi ini persoalan bayar pajak yang terlepas dari hingar bingar politik, yang jadi kewajiban semua warga negara yang baik. Dan, tahun ini target penerimaan dari pajak cukup besar yaitu Rp 1.786 triliun. Angka tersebut lebih tinggi dari target 2018 yang sebesar Rp 1.454,5 triliun.

Namun  di tengah beban berat yang harus ditanggung oleh jajaran Kementerian Keuangan itu, jika ternyata masih juga ada tokoh yang mendiskreditkan dan tidak menghargainya dengan menjadikan utang sebagai sasaran tuduhan, tentu menimbulkan tanda tanya. Karena itu, saya teringat rumus sederhana tadi, seperti pantulan cermin tokoh itu.

Secara sederhana keterkaitan pajak dan sikap tokoh politik tadi bisa dipahami sebagai berikut. Target penerimaan pajak yang meningkat, membuat aparat pajak bekerja ekstra keras, termasuk di antaranya adalah meneliti kekayaan warga negara wajib pajak, yang belum dilaporkan atau disembunyikan. Akibatnya, warga negara wajib pajak yang nakal yang menyembunyikan hartanya, menjadi was-was, tidur tak nyenyak meski makan enak.

Nah, dalam kondisi seperti itu bisa saja muncul pernyataan yang mendiskreditkan kerja aparat pajak atau Kementerian Keuangan dengan melemparkan isu soal utang yang terus berulang walaupun tidak benar tadi. Tokoh politik seperti itu tidak mengacu pada satu atau dua orang figur namun bisa sekelompok orang. 

Menteri Keuangan Sri Mulyani, seperti yang saya kutip tadi, secara halus menyebut masih adanya wajib pajak yang belum sepenuhnya jujur terkait pelaporan harta kekayaan meski ikut program tax amnesty. "Tapi ibu masih nyari-nyari" berarti masih ada yang disembunyikan?"

Pernyataan menkeu yang berbalut tanya itu sebenarnya menggambarkan kerja keras itu. Sejak Indonesia menandatangani kesepakatan dengan 120 negara dalam kerja sama pertukaran informasi perpajakan atau Automatic Exchange of Information (AEoI) pada 2018, sudah ada 65 negara yang memberikan informasi terkait harta warga negara Indonesia (WNI) di luar negeri.

Direktorat Jenderal Pajak dalam kerja senyap mereka masih melakukan penyisiran terkait data itu. "Sedang kami godok terus dari 2018. Mulai membuka source datanya. Sedang kami lakukan proses identification dari data tersebut sehingga ketemu nama NPWP yang tepat," kata Dirjen Pajak Robert Pakpahan. [2]

Itu jelas sebuah kerja yang dilakukan secara hati-hati dan mencegah timbulnya kegaduhan. Namun hal  itu juga menunjukkan bahwa menyembunyikan kekayaan di luar negeri semakin sulit bagi warga negara yang tidak taat bayar pajak. Menyembunyikan harta haram hasil korupsi atau tindakan kejahatan juga sama sulitnya.

Jadi kalau sekarang ada tokoh politik yang tiba-tiba punya "kegemaran" melontarkan isu seputar utang, ada baiknya kita ingat soal harta gelap WNI dan kerja keras aparat tadi. 

Mungkin saja, dia lagi baper dan stress juga.

Salam. damai nan indah

Salam waras juga

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun