"...Tapi "kau"-nya jadinya siapa kalau di situ ada bandar dan kacung yang bukan "kau"?
Doa sakral kenapa kau ralat
Dibisik kacung makelar
Tinggal minta maaf kalau sudah menghina. Tidak usah ngeles-ngeles," kicau Alissa Wahid.
Penyair Krisna Pabichara dalam artikelnya di Kompasiana juga menyatakan hal yang senada. Ini masih ditambah dengan apresiasi dari banyak pihak yang menilai "kau' dalam puisi itu adalah Mbah Moen karena secara gamblang puisi terkait dengan peristiwa doa Mbah Moen di pondoknya, saat menerima Presiden Jokowi.
Jika kau yang dimaksudkan Fadli Zon adalah penguasa dalam pengertian penguasa pemerintahan, ada lompatan makna yang tidak nyambung dan dipaksakan sehingga tidak mendukung makna "kau" dalam bait pertama dan kedua puisi itu. Ini sedikit pemahaman saya tentang puisi itu.
Jadi, sangat beralasan jika ada yang memaknai 'kau" dalam puisi itu adalah Mbah Moen, karena ada kata "kacung makelar" dan "sang bandar" yang sangat telanjang maknanya sebagaimana juga disebut dalam pembelaan Fadli Zon tadi. Oleh karena itulah, jika Fadli Zon tetap ngotot merasa tidak bersalah ya silakan saja.Â
Namun, sah juga jika orang seperti Alissa Wahid, penyair Krisna Pabichara, kiai, para santri, hingga Mahfud MD yang memaknai 'kau' dalam puisi itu adalah Mbah Moen. Dan, mereka layak marah karena ulama sepuh panutan mereka dilecehkan dengan puisi seperti itu. Inilah yang tampaknya tidak bisa ditangkap oleh mata batin Fadli Zon.
Sebaliknya dia justru mencari kambing hitam dengan menuduh ada yang memelintir kata 'kau' sehingga dimaknakan sebagai Mbah Moen. Dia menyebut ada orang-orang yang memfitnahnya dengan pengertian seperti itu. Selain itu aksi massa yang marah disebut sebagai akibat gorengan pihak tertentu.
Inilah yang saya nilai sebagai kelicikan Fadli Zon. Dia mengklaim bahwa dirinya tidak bersalah namun akan minta maaf dan sowan ke Mbah Moen karena puisi telah disalahartikan dan menimbulkan ketidak-nyamanan. Di sisi lain di mendiskreditkan orang yang memaknai "kau" sebagai Mbah Moen telah memelintir makna puisi tersebut.
Sementara itu, orang-orang yang marah di berbagai kota itu disebut akibat gorengan pihak lain. Mereka berdemo bukan karena puisi Fadli Zon telah melecehkan Mbah Moen. Ini sama artinya, semua orang yang marah karena merasa kiai sepuh junjungan mereka dilecehkan Fadli Zon dengan puisi itu, tidak mengerti makna puisi itu.