Mohon tunggu...
mohammad mustain
mohammad mustain Mohon Tunggu... penulis bebas -

Memotret dan menulis itu panggilan hati. Kalau tak ada panggilan, ya melihat dan membaca saja.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Menghukum Fadli Zon

9 Februari 2019   10:06 Diperbarui: 9 Februari 2019   11:36 874
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fadli Zon/foto warta kota

Sudah tiga kiai NU yang dilecehkan oleh Fadli Zon. Kiai Ma'ruf Amin dia sebut tidak mengerti politik, Kiai Yahya Cholil Staquf yang mengisi kuliah umum The  Israel Council of Foreign Relation oleh American Jewish Committe, di dia hina lewat Twitter. Dan, saat ini para santri dan masyarakat marah karena Mbah Moen atau Kiai Maimun Zubair dia hinakan dengan puisi.

Sudah beberapa hari ini, saya rajin membuka portal berita untuk mencari berita Fadli Zon telah meminta maaf. Namun, belum ada satu pun berita yang menunjukkan hal itu. Yang muncul malah Fadli Zon pamer foto dengan Mbah Moen. Orang waras pasti heran dan bertanya, apa korelasi foto lawas itu dengan penghinaan yang dilakukan Fadli Zon.

Apakah foto itu serta merta bisa menghapus puisi penghinaan itu dan membenarkan "pengelesan"nya bahwa tak mungkin dia menghina Mbah Moen? Walah, itu nalar yang ndak nyambung blas. Justru sebaliknya bisa muncul penilaian, Fadli Zon itu orang yang tak tahu diri, sudah pernah diperlakukan baik-baik bahkan berfoto bersama segala oleh Mbah Moen, kok malah tega menghinakannya dengan puisi.

Saya tak hendak membicarakan soal puisi Fadli Zon apakah menghinakan atau tidak. Sudah banyak yang mengulas. Bagi saya apa yang disebut puisi Fadli Zon itu tidak lebih dari makian verbal yang diberi baju puisi. Tidak lebih. Makian tetaplah makian walau sudah dibungkus baju puisi. Dan entah sudah berapa makian yang dia lontarkan dengan model seperti itu.

Mengapa Fadli Zon berani mengulang-ulang perlakuan melecehkan kiai NU? Jawabnya bisa sederhana bisa pula sedikit dipanjangkan. Secara sederhana, dia memang tidak menaruh hormat kepada kiai NU. Kalau pun dia menunjukkan sikap hormat dan akrab, bisa jadi didasari kepentingan politik karena hal itu bisa mendongkrak elektabilitas dia sebagai politikus.

Agak sedikit panjang. Fadli berani mengulang-ulang perlakuan melecehkan kiai NU itu, karena mungkin didasari pendapat bahwa budaya NU itu sabar, memanusiakan manusia, mudah memaafkan, dan tidak akan sampai melahirkan demo berjilid-jilid yang bisa membahayakan karir politik dan diri pribadinya. Jadi, orang NU itu bisa panas sebentar tetapi dengan cepat dingin karena NU itu adalah organisasi orang-orang waras dan berakal sehat.

Penilaian saya itu bisa saja salah. Namun yang pasti, terulangnya pelecehan Fadli Zon terhadap kiai NU itu, bukan sesuatu yang ujug-ujug. Pastilah ada sikap dasar dan pandangan subjektif Fadli dalam menilai keberadaan kiai NU. Kalau benar dia menghormati NU dan para kiainya, tentu dia akan bersikap hati-hati dan tidak arogan.

Boleh saja ada penilaian bahwa itu memang sudah watak dasar Fadli Zon yang arogan dan suka merendahkan orang. Namun, kenyataan menunjukkan sikap arogan dan melecehkan orang lain itu selama ini hanya dia tunjukkan kepada lawan politiknya. Artinya, apa yang dilakukannya tentu didasari motivasi tersendiri dan bukan ujug-ujug begitu saja.

Sebagai anggota DPR, dia memang punya kekebalan dalam mengutarakan pendapat atau mengkritik pemerintah. Itu tugas pengawasan yang harus dia jalankan. Tetapi, kekebalan itu tentunya tidak termasuk dalam kategori menyerang seseorang secara personal dengan kata makian, fitnah, dan informasi bohong. Fadli Zon sudah melakukan hal-hal yang terlarang itu. Silakan baca berita untuk mengetahuinya.

Di luar tugasnya sebagai anggota DPR, Fadli Zon suka membuat susunan kata yang dia sebut sebagai puisi. Susunan kata itu dia pakai untuk menyerang lawan politiknya. Silakan gogling sendiri untuk tahu "susunan kata" Fadli Zon itu. Saya tak mau mempromosikannya. Bagi saya, "susunan kata" Fadli Zon itu tidak lebih dari makian verbal terhadap orang dan lawan politiknya.

Yang sering membuat saya heran adalah mengapa orang semacam Fadli Zon ini masih bisa lolos dari jerat hukum. Apakah ada ketidakprofesionalan di tubuh kepolisian ataukah ada faktor tertentu yang membuatnya selalu lolos? Tidak tahu juga. Polisi memang boleh saja menyebut batasan antara benar dan salah dalam kasus hukum terkait politik di tahun politik ini sangat tipis.

Kasus "video potong bebek angsa" (21 September 2018) yang secara jelas menunjukkan adanya serangan fitnah dan pelecehan itu misalnya, telah dilaporkan ke kepolisian. Namun, hingga kini belum ada kejelasan pengusutan kasus itu. Itu hanya satu contoh. Lainnya cari sendiri, misalnya soal frase "plonga-plongo" itu.

Apakah itu semua bagian dari kekebalan seorang anggota DPR? Rasanya tidak. Memaki, memfitnah, dan sejenisnya tetaplah sebuah perilaku yang bisa terkena delik pidana. Fadli Zon tidak punya kekebalan hukum sebagaimana warga masyarakat lainnya. Artinya, tindakannya itu bisa membuatnya masuk bui jika bisa dibuktikan bersalah di pengadilan.

Kembali ke kasus pelecehan dan penghinaan Fadli Zon terhadap Mbah Yai Maimun Zubair melalui apa yang dia sebut puisi dengan judul Doa yang Ditukar. Apakah hal ini bisa dibawa ke ranah hukum? Jika mengacu pada sifat hinaan dan lecehan itu bersifat mencemarkan nama baik, seharusnya bisa walaupun hingga saat ini belum ada yang membawanya ke arah sana.

Yang muncul saat ini baru tuntutan para santri dan masyarakat agar Fadli Zon segera meminta maaf kepada Mbah Moen. Ini memang selaras dengan sikap orang NU yang pemaaf dan penyabar. Tetapi, rupanya tuntutan yang sederhana dan manusiawi ini belum menggerakkan hati dan mulut Fadli Zon untuk meminta maaf.

NU dan jamaahnya memang punya budaya tidak grusa-grusu dalam bertindak dan menyikapi suatu keadaan atau permasalahan. Ada cek dan ricek, ada tahapan pula dalam bertindak. Tuntutan permintaan maaf ini tentunya telah melalui cek dan ricek, telaah, sehingga sampai pada kesimpulan Fadli Zon telah melecehkan dan menistakan Mbah Moen.

Jika saat ini sudah sampai pada tindakan demo sejuk, dengan doa dan lantunan sholawat, dan meminta Fadli Zon meminta maaf, itu sebuah sikap yang menunjukkan warga NU tidak diam meskipun tetap sabar. Apakah ini tidak bisa dipahami seorang Fadli Zon? Apakah dia justru menunggu tahapan aksi selanjutnya dari warga NU?

Saya yakin warga NU tidak mudah terpancing untuk berbuat lebih keras setelah demo sejuk di Kudus itu. Namun, jangan pula ini diartikan masalahnya sudah selesai meski Fadli Zon tetap tidak mau minta maaf. Saya rasa, jalur hukum adalah pilihan terbaik sehingga massa di akar rumput merasa aspirasinya tersalurkan. Bagaimana, PBNU?

Salam damai nan indah
Salam waras

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun