Mohon tunggu...
mohammad mustain
mohammad mustain Mohon Tunggu... penulis bebas -

Memotret dan menulis itu panggilan hati. Kalau tak ada panggilan, ya melihat dan membaca saja.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Siapa Stres Setelah "Brankas Swiss" Dibuka

6 Februari 2019   15:41 Diperbarui: 6 Februari 2019   15:51 2920
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Minggu lalu, berseliweran informasi tentang Paradise Paper, dokumen tentang orang top, kaya, dan perusahaan yang berinvestasi di negara surga pajak, menghindar dari kewajiban bayar pajak di negara masing-masing. Ini sebenarnya dokumen yang telah beredar sejak 2017 lalu, setelah Panama Paper yang buat heboh itu. 

Nama orang Indonesia ada juga di dokumen itu, yaitu Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno. Keduanya, baik secara langsung maupun orang dekatnya, sudah sama-sama membantah atau menjelaskan keberadaan nama mereka di dokumen itu, yang intinya "tidak bersalah".

Seperti saat beredarnya dokumen Panama Paper dan dokumen sejenis lainnnya, pemberitaan tentang siapa saja yang sempat dapat julukan "pengemplang pajak" itu tidak begitu berdampak secara politik atau hukum. Orangnya masih baik-baik saja. 

Keadaan yang sungguh berbeda dibandingkan dengan di negara-negara Eropa misalnya, yang diwarnai pengunduran diri pejabat yang namanya tercantum di dokumen itu.

Namun, yang patut diingat, terbukanya beberapa dokumen yang terdiri atas jutaan lembar data itu, sedikit banyak berpengaruh atas upaya Indonesia dalam perburuan kekayaan gelap warga negaranya yang selama ini disembunyikan di negara-negara surga pajak. Setidaknya dokumen semacam itu melengkapi data yang telah ada.

Indonesia sendiri juga sudah tergabung ke dalam global Automatic Exchange of Information (AEOI). Sebuah kesepakatan atas keterbukaan informasi perbankan antarnegara yang tergabung di situ, memudahkan Indonesia untuk melacak rekening atau aliran uang yang mencurigakan baik terkait pajak, pencucian uang, ataupun hasil kejahatan.

Pencapaian pemasukan atau pendapatan negara yang melampaui target tahun ini (sebesar Rp 1.936 triliun atau lebih tinggi dari target APBN Rp 1.894 triliun) tentunya juga terpengaruh langkah itu, yang mengawali program tax amnesty. Bagaimana pun, pajak adalah nadi utama pembangunan Indonesia. 

Kalau ada warganya tidak taat bayar pajak dan malah menyembunyikan kekayaannya di luar negeri untuk menghindari kewajiban bayar pajak, itu kejahatan terhadap negara.

Upaya pengejaran terhadap kekayaan para pengemplang pajak itu terus berlangsung hingga kini, tidak berhenti begitu saja setelah program tax amnesty usai. Kompas.com hari ini menurunkan berita headline berjudul "Pelacakan Dana Gelap Milik WNI yang Disimpan di Swiss Kini Lebih Mudah" [1[  Di berita itu disebut tax amnesty 2016 menghasilkan deklarasi harta kurang lebih Rp 4.800 triliun. Terdiri dari Rp 3.800 triliun deklarasi dalam negeri, Rp 1.000 triliun deklarasi luar negeri, dan Rp 145 trilun repatriasi.

Sedangkan menurut Tax Justice Network, setidaknya terdapat sekitar 331 miliar dollar AS (Rp 4.600 triliun) harta orang Indonesia di luar negeri. Dengan demikian masih terdapat harta senilai sekitar Rp 3.500 triliun yang belum diikutsertakan dalam pengampunan pajak.

Untuk itulah Indonesia mengadakan perjanjian Mutual Legal Assistance (MLA) dengan beberapa negara, salah satunya dengan Swiss negara yang dikenal sangat ketat menjaga kerahasian perbankannya. 

Sebelumnya, perjanjian serupa telah ditandatangani dengan Asean, Australia, Hong Kong, RRC, Korsel, India, Vietnam, UEA, dan Iran. Perjanjian ini memungkinkan Indonesia untuk melacak, membekukan, hingga menyita dan merampas aset hasil kejahatan yang disimpan di negara lain dengan bantuan pemerintah setempat.

Swiss selama ini dikenal sangat ketat dalam menjaga kerahasian perbankannya. Sejak lama, berita tentang rekening rahasia di negara itu muncul di media massa. Para orang kaya dari seluruh dunia diberitakan merasa nyaman memarkir uangnya di situ. Orang Indonesia tentu salah satunya. 

Namun, seiring perkembangan zaman, Swiss tidak memonopoli hal itu, banyak negara lain yang menawarkan tax heaven juga melakukan hal serupa. Bocornya beberapa dokumen semacam Paradise Paper itu buktinya. 

Meskipun begitu, Swiss tetap punya nilai lebih. Kalau selama ini tidak terekspos siapa yang memarkir dana di sana, karena kerahasian itu dijaga ketat.

Oleh karena itu, perjanjian Mutual Legal Assistance yang ditandatangani oleh Menkumham Yasonna Hamonangan Laoly dan Menteri Kehakiman Swiss, Karin Keller-Sutter, 4 Februari kemarin, sangat menarik perhatian. 

Perjanjian ini memungkinkan Indonesia untuk memperoleh bantuan hukum mengenai pelacakan, pembekuan, penyitaan hingga perampasan aset hasil kejahatan. Perjanjian itu juga menganut prinsip retroaktif yang bisa menyasar tindak pidana sebelum berlakunya perjanjian, sepanjang putusan pengadilannya belum dilaksanakan. 

Ini berarti pelarian harta hasil kejahatan ekonomi masa lalu yang disimpan di Swiss bisa diusut kembali dengan bantuan hukum pemerintah Swiss. Ini berarti mereka yang menyimpan harta tidak halal di masa lalu, patut diduga hatinya was-was dan tidak tenang. Ya setidaknya, hatinya pasti cedut cenut.

Berita soal harta gelap yang disimpan di luar negeri, khususnya menjelang kejatuhan Presiden Soeharto, sudah sering beredar. Sebuah berita yang tentunya bukan sekedar pepesan kosong, mengingat situasi saat itu memang sangat memungkinkan terjadi. Program tax amnesty setidaknya sudah membuktikan banyaknya dana orang Indonesia yang diparkir di luar negeri.

Tetapi perjanjian MLA dengan Swiss ini punya nilai lebih. Bukan hanya karena belum terjangkaunya kekayaan orang Indonesia yang disimpan di negara itu. 

Namun, banyak yang penasaran atas informasi tentang kekayaan bertriliun rupiah milit elit politik Indonesia yang dilarikan menjelang pemerintahan Presiden Soeharto jatuh. Dana itu sering disebut sebagai pundi-pundi penggerak aksi politik di Indonesia.

Saya sendiri yang suka cerita misteri, suka membayangkan aksi dan reaksi para elit politik itu setelah pundi-pundinya akan diusik. Tetapi itu hanya sekedar bayangan karena toh belum ada bukti nyata atas rumor itu. 

Tetapi harus diakui, membayangkan sesuatu yang "ngeri-ngeri sedap" semacam itu memang menggoda imajinasi.

Meskipun demikian, saya meyakini perjanjian MLA dengan Swiss itu pasti mempunyai dampak positif terhadap usaha pelacakan kekayaan warga Indonesia yang nakal, para pengemplang pajak, atau pelarian hasil korupsi dan kejahatan ekonomi lain. 

Akibatnya sudah pasti, yang merasa punya dana gelap semacam itu akan merasa marah, terusik, dan memberikan perlawanan.

Saya kok jadi teringat pernyataan Menkeu Sri Mulyani beberapa waktu lalu bahwa di tahun politik sekarang ini banyak orang menyoroti utang dan rasio pajak. 

Hal itu dinilainya membuat banyak orang bingung dan mengesampingkan fakta bahwa utang dan pajak merupakan alat yang digunakan pemerintah untuk melayani rakyat Indonesia.

Maaf, saya jadi ikutan suudzon, mengikuti berbagai tulisan di medsos, bahwa tuduhan soal utang dan pajak itu adalah bentuk perlawanan itu. Mereka terusik dan karena itulah, Jokowi dan Sri Mulyani harus dilengserkan. Sebuah suudzon yang masuk akal? Jadi siapa yang terusik dan stress setelah "brankas Swiss" dibuka? Marilah kita tunggu sama-sama.

Salam damai nan indah

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun