Tidak jadi presiden.... Salawi
Ditinggal gendakan minggat.... Salawi
Tidak bisa nganu.... Salawi
Ngungsi ke padang pasir....Salawi
Ditangkap karena korupsi.... Salawi
Berantem sama besan....Salawi
Hutang dan gadaikan sertifikat...Salawi
Mabuk novel fiksi.... Salawi
......
Indonesia bubar....salah Lu.
Saya setuju dengan pendapat Cak Nun yang mengibaratkan sistem dan dinamina politik di Indonesia seperti permainan sepak bola yang aturannya sudah tak jelas. "Kita ini ibarat sudah kacau sepakbolanya sehingga menendang bola kemanapun selalu salah bagi yang lain." Â [1]Â
Tetapi saya tidak akan menyelam terlalu dalam sampai ke sel-sel darah yang kata Cak Nun memunculkan kudis yang gatal dan minta digaruk itu. Pemikiran yang ringan-ringan saja. Misalnya, fenomena sepak bola politik kita itu sudah seperti sepak bola orang yang goyang salawi. Serong kanan....serong kiri...akhirnya  nyemplung kali.
Anda pasti akan bertanya, salawi itu minuman atau makanan macam apa kok bisa buat goyang-goyang, serong kanan serong kiri. Sebelum salah paham, perlu diketahui bahwa salawi itu bukan nama minuman atau buah. Jangan gara-gara tulisan ini, anda lantas bermusuhan dengan Mbok Wi penjual kue Terang Bulan karena curiga ada zat yang buat mabuk kepayang.
Salawi itu akronim dari kata salah Jokowi. Akronim ini rupanya telah berkembang menjadi istilah khusus, yang istimewa, untuk meledek perilaku lawan politik Jokowi yang selalu menimpakan kesalahan kepada Jokowi bahkan terhadap sebuah perkara yang tidak berkaitan dengan Jokowi.
Jadi, jika didefinisikan dengan bahasa yang lebih kece, salawi adalah sebuah tren ungkapan tentang orang-orang gagal, tidak berdaya, pecundang sejati, orang kebingungan yang membutuhkan sebuah alasan untuk menguatkan hatinya yang putus asa, gundah gulana, lemah tidak berdaya, dan sejenisnya.
Inilah makna pemakaian kata salawi yang agaknya sedikit saja  cocoknya dengan judul tulisan ini. Saya setuju dengan Cak Nun yang mengibaratkan sistem dan dinamika politik kita seperti sepak bola yang aturannya sudah tidak jelas. Dalam ketidakjelasan itu muncullah sepak bola ala salawi ini.
Contohnya, Menkopolhukam Wiranto itu kan pembantu presiden. Semua juga tahu, Presiden Jokowi sangat menjaga independensi KPK dan tidak mau mengintervensi penanganan kasus di KPK. Lha kok Wiranto malah meminta KPK menunda pengumuman nama calon kepala daerah yang jadi tersangka korupsi.Â
Lagi, semua juga tahu kalau dalam urusan revisi UU MD3, ada tiga pasal yang membuat DPR bisa tambah menjadi-jadi. Pertama, DPR bisa memerintahkan MKD untuk memidanakan para pihak yang dinilai merendahkan DPR. Kedua, DPR bisa memerintahkan polisi untuk mendatangkan seseorang yang menolak panggilan DPR. Ketiga, untuk memeriksa anggota DPR yang tersangkut perkara pidana, harus ada izin MKD dan presiden.
Namun, Menkumham selaku wakil pemerintah dan pembantu presiden malah membiarkan dan menyetujui hal itu hingga UU MD3 hasil revisi disahkan DPR. Anehnya, presiden malah tidak diberi tahu persoalan itu. Akibatnya, presiden menolak menandatangani UU MD3 hasil revisi itu dan menyarankan masyarakat untuk menggugat ke MK.
Dua kejadian itu akhirnya menjadikan Jokowi sebagai sasaran kesalahan. Ini seperti orang main bola tapi malah memasukkan gol kesalahan ke gawang sendiri. Bukan sekedar sebuah gol bunuh diri, namun dampaknya semua itu menjadi salawi.
Sejenis tapi tak sama, PAN itu partai koalisi pemerintah, punya satu kader yang jadi menteri pula. Tetapi sikap PAN justru sering mengkritik dan berseberangan dengan pemerintah. Kata orang, mau jabatan menteri, sukarela jadi partai koalisi pemerintah, tapi laku dan lagaknya seperti lawan sejati. Gak jelas.
Contoh lain, di dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, DPR adalah sebuah lembaga yang berisi para wakil rakyat. Sebagai wakil rakyat, mereka di antaranya bertugas membuat undang-undang untuk kepentingan yang diwakilinya. Mereka juga bertugas menampung aspirasi rakyat dan mewujudkannya dalam perundang-undangan atau program pembangunan.
Jadi secara substansial, anggota DPR itu pesuruh rakyat yang diwakilinya. Namun, yang kita lihat kerja mereka justru seperti kelompok orang yang mabuk jabatan, nyinyir, korup, dan hobi menyalahkan pemerintah atau Jokowi. Ketidakbecusan kerja mereka seperti sengaja dikaburkan dengan perilaku salawi itu. DPR tidak pernah salah, yang salah itu Jokowi.
Lihat saja kesibukan dan kegarangan mereka berdebat di televisi seperti orang paling pandai dan benar sedunia akhirat. Ngomong tidak akan menyetujui revisi UU MD3, tapi malah memimpin sidang pengesahan. Ini yang namanya pengibulan. Mereka lupa, jadi wakil rakyat itu bukan untuk jadi selebriti atau metengkelek meninjau proyek sambil dipayungi ajudan. Wooooiiii, sejak kapan pesuruh jadi raja.
Fenomena salawi lain bisa terlihat pada hiruk pikuk politik Indonesia paska Pilpres 2014 lalu. Lihat saja bagaimana isu dibangun dari ditumpahkan untuk merusak dan mengotori citra Jokowi. Banjir hoax di media sosial bahkan menembus media mainstream yang mengotori dan merusak kebhinekaan Indonesia. Sampai orang mati pun dipersalahkan jika mendukung Ahok sahabat Jokowi.
Nah yang memprihatinkan, fenomena salawi ini ternyata tidak hanya dipertontonkan oleh politikus kekinian. Mereka yang senior seperti Amien Rais pun yang seharusnya menjaga marwah bangsa ini dengan bersikap bijak dan hati-hati berucap pun bersikap salawi juga.Â
Gara-gara Jokowi bagi-bagi sertifikat gratis ke masyarakat, dia disalahkan atas penguasaan lahan berjuta hektar oleh sekelompok orang.
Ternyata oh ternyata, hal itu terjadi pada era pemerintahan sebelumnya, yaitu era SBY. Dan, juara pelepasan lahan berjuta hektar itu justru dipegang Zulkifli Hasan, besan Amien Rais yang melontarkan tuduhan itu.
Salawi oh Salawi.... sungguh sebuah fenomena permabukan politik yang nikmat dan melenakan. Membuat Indonesia sedikit lupa, nun jauh di sana ada orang ingin jadi presiden tapi takut pulang karena jadi buronan dan terancam penjara. Sungguh sebuah sepak bola politik yang kadang membuat orang tertawa terbahak-bahak di tengah novel "horor" yang katanya menyebut Indonesia akan bubar pada 2030.
Rupanya, salawi sudah dianggap obat manjur untuk menyembuhkan kepecundangan. Sungguh terlalu.
Salam salaman.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H