Mohon tunggu...
mohammad mustain
mohammad mustain Mohon Tunggu... penulis bebas -

Memotret dan menulis itu panggilan hati. Kalau tak ada panggilan, ya melihat dan membaca saja.

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Politikus, Snob, dan Gejala Gangguan Kejiwaan

12 Maret 2018   11:04 Diperbarui: 12 Maret 2018   11:33 1708
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi. FreshWall

Awalnya ada rasa penasaran mendapati beberapa politikus cukup terkenal karena "kenyinyiran" dan sikap soknya: sok benar, sok pintar, dan sok kuasa. Namun, perilaku itu ternyata tergolong gangguan kejiwaan yang disebut snob. Apakah para politikus itu sadar kalau sedang mengalami gangguan jiwa?

Jujur, soal snob ini baru saya pahami sedikit lebih baik karena rasa penasaran tadi. Mereka sering mengeluarkan pernyataan yang cenderung meremehkan atau bahkan merendahkan dan tidak menghargai pemerintah atau yang dipandang sebagai lawan politiknya. Perilaku mereka sempat saya nilai hanya model teknik beroposisi. Namun, lama-kelamaan kok terasa ada yang tidak pas.

Akhirnya hasil googling "merasa paling pintar, sebuah gangguan kejiwaan" menemukan satu kata: snob. Ini bukan sekadar kata yang menggambarkan gaya hidup tetapi sebuah perilaku yang mengindikasikan sebuah gangguan kejiwaan. Meski begitu, saya belum sampai pada kesimpulan bahwa para politikus itu mengalami gangguan jiwa.

Supaya lebih jelas, makna snob di kbbi.web.id. tertulis 1. Orang yang senang meniru gaya hidup atau selera orang lain yang lebih daripadanya tanpa perasaan malu, 2 orang yang suka menghina dan meremehkan orang lain yang dianggap lebih rendah daripadanya; orang yang merasa dirinya lebih pintar daripada orang lain.

Sebuah artikel di Intisari online mengulas secara ringan tentang snob yang selama ini tidak banyak dipahami sebagai sebuah perilaku gangguan kejiwaan. "Snob adalah gangguan kejiwaan saat seseorang merasa dirinya lebih dari kenyataan sebenarnya. Misalnya sok tahu, sok kaya, sok gengsi, sok pintar, sok kuasa, sok suci, dan sok-sok lainnya."[1]

Lantas apa pengaruh perilaku snob terhadap negara ini. Jika perilaku ini sekadar sebuah gaya hidup dan pencitraan bak seorang selebritis, mungkin tidak begitu bermasalah. Tetapi jika perilaku itu berupa sikap sok benar, sok pintar, sok kuasa, sok mau menang sendiri, tentu berpengaruh buruk terhadap situasi sosial politik. Tak hanya itu, snob juga bisa menimbulkan perilaku koruptif pula. Memang, masih perlu sebuah kajian khusus untuk masalah ini.

Sebenarnya urusan gangguan kejiwaan di dunia politik bukan perkara baru. Hanya saja, belum ada sebuah tes yang lebih komprehensif untuk menangkal para politikus yang punya kecenderungan terganggu jiwanya setelah lolos pemilu. Padahal jika dikaji secara serius, bisa jadi gangguan kejiwaan yang muncul bukan hanya snob. 

Selama beberapa tahun ini, menjelang atau usai Pemilu biasanya akan muncul berita tentang kesiapan rumah sakit jiwa menampung para calon legislatif yang gagal memperoleh kursi dewan. Biaya yang mereka keluarkan habis-habisan, yang berakibat utang menumpuk dan membuat sebagian calon yang gagal itu stres dan harus dirawat untuk memulihkan kejiwaannya.

Sebuah kegagalan akibat proses politik yang menguras banyak tenaga, pikiran, dan dana memang bisa berakibat banyak, mulai depresi, perceraian, ngomel sendiri, hingga masuk rumah sakit jiwa. Yang terakhir ini, pilihan terburuk bagi politikus gagal yang tak berdaya lagi baik lahir maupun batin.

Yang lolos pun bukan berarti sama sekali bebas dari kemungkinan gangguan kejiwaan. Inilah yang mungkin kurang diperhatikan oleh publik. Jangan pernah beranggapan semua akan sama setelah seseorang mengalami kegagalan atau keberhasilan dalam sebuah even pemilu baik Pilkada, Pilgub, Pilpres, maupun Pileg. Sebuah proses politik yang begitu mahal dan sarat perilaku koruptif yang disembunyikan atau secara terang-terangan namun berlindung di balik aturan legal, tentu akan punya dampak lanjutan. 

Sedikit banyak pastilah ada guncangan dalam jiwa politikus itu yang akan berpengaruh terhadap perilaku politiknya. Jika ia adalah figur sentral dalam sebuah kelompok politik, tentu wajar jika kelompoknya ikut terpengaruh. Baik yang berhasil lolos maupun yang gagal, jika proses politiknya seperti itu, pasti akan terpengaruh.

Ada sebuah pendapat menarik dalam artikel Social-Politica.com dengan host Rum Aly, yang berjudul "Sakit Jiwa dan Korupsi di Kancah Politik Indonesia", 9/12/2013. Artikel ini diawali dengan  kasus 7.376 caleg gagal yang harus masuk rumah sakit jiwa, paska Pemilu 2009, yang disebut Sekjen KIPP saat itu, Peter Rohi, akibat mahalnya biaya pemilu untuk keperluan kampanye besar-besaran dan lanjutannya.

"...Suatu kemungkinan lain bisa terjadi, bahwa orang-orang dengan gejala psikopatik, paranoid, split personality dan gangguan mental lainnya --sadistis, egois, arogan dan rakus berlebihan-- dengan pola rekrutmen seperti sekarang, justru lolos masuk ke dalam kelembagaan politik dan kelembagaan negara melalui pintu pemilihan umum. Maka, syarat tidak mengalami gangguan kejiwaan harus dilakukan cermat dan ketat, jangan sekedar pemeriksaan proforma saja." [2]

Pendapat itu tentu saja masih cukup aktual jika dihubungkan dengan situasi politik saat ini. Belum banyak perubahan dalam sistem rekrutmen di kelembagaan politik ataupun negara melalui pemilu. Biaya mahal tetap jadi sebuah kenyataan, sementara negara terbukti tidak bisa menghalangi seseorang yang dikhawatirkan berpotensi psikopatik, paranoid, split personality, sadistis, egois, arogan dan rakus masuk dunia politik.

Belum ada aturan yang melarang seseorang yang pernah dihukum karena kejahatan pembunuhan jadi pengurus partai politik. Belum ada aturan yang melarang seseorang yang terbukti jadi koruptor misalnya, untuk tetap berkiprah di dunia politik. Semua pada akhirnya diserahkan kepada rakyat yang menentukan apakah menerima atau menolak mereka.

Di negara yang masyarakatnya mapan secara ekonomi dan demokratis dalam kehidupan sehari-hari, politikus yang pernah tersangkut tindak pidana semacam itu tentu sanggat sulit diterima. Tetapi realitas masyarakat Indonesia tidak seperti itu. Politik uang masih cukup ampuh untuk membeli suara mereka pada beberapa even pemilihan umum. 

Apakah perilaku masyarakat saat ini sudah berubah dengan  kemajuan teknologi IT yang menyebarkan informasi sampai ke pelosok? Harapannya seperti itu. Namun kenyataan menunjukkan informasi hoax hasil kolaborasi produsen hoax dengan kepentingan politik justru jadi penghambat. 

Masyarakat tetap dijejali informasi yang mengaburkan kebenaran dan justru mengadu domba, yang bisa membuat mereka kembali apatis atau mengambil pilihan buruk. Inilah realitas kehidupan berpolitik kita yang ternyata tidak bisa lepas dari perilaku yang bisa tergolong penyakit jiwa, yaitu membuat berita hoax yang merusak (salah satu perilaku psikopat). Suatu hal yang tidak dilakukan orang waras.

Ternyata, perilaku snob yang diperlihatkan sebagian  politikus kita itu hanyalah salah satu  dari sekian potensi gangguan kejiwaan yang bisa jadi telah menghinggapi sebagian dari mereka. Saya tulis "bisa jadi" bukan "pasti" telah menghinggapi, harap jangan disalahartikan.

Pertanyaannya, perlukah gangguan kejiwaan ini disembuhkan atau dibiarkan saja karena kekuasaan yang jadi tujuan para politikus itu memang sudah cenderung gila dari sananya? 

Entahlah. Yang pasti sebentar lagi ada pesta Pilkada dan tahun depan ada pesta Pemilu dan Pilpres. Sinyal kegilaannya mungkin sudah bisa dipantau dari sekarang. Namun, kalau soal jumlah yang kembali harus masuk rumah sakit jiwa, ya harap sabar menunggu hasil "pertandingan" dan perhitungan.

Salam salaman.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun